21

1.2K 164 19
                                    

Tap...tap...tap.....Dengan langkah tergesa gesa Marsha berjalan menuju ruang konseling di sekolah Alea. Raut wajah khawatir tentu saja tidak bisa Marsha sembunyikan. Bahkan pikiranya melayang jauh, membayangkan wajah memar Alea karena yang ia tahu Alea berada di ruang konseling setelah berkelahi dengan siswa lain.

Knock...knock...knock....

Ceklek....Marsha membuka pintu ruangan konseling setelah mengetuknya dan betapa kagetnya, melihat Alea yang jauh dari kata rapi.

"Kak Marsha...,"Alea bergumam kaget, melihat kedatangan Marsha.

Marsha menghampiri Alea, menangkup kedua pipi Alea. "Ya Tuhan , kenapa bisa kaya gini ?" tanyanya rasa kekhawatiran.

Alea mempoutkan bibirnya, melirik seorang gadis bernama Reva yang membullynya dengan kata kata kasar .Hingga membuatnya tersulut emosi dan memukul gadis itu dengan tangannya yang membuat perkelahian di antara keduanya , meski biasanya ia tidak pernah peduli dengan itu.

"Oh, jadi ini ibunya ? ..Masih sangat muda, pantas saja tidak bisa mendidik anaknya ,"ucap seorang wanita ,menatap Marsha dengan tatapan sinisnya.

Marsha yang mendengar ucapan itu tentu saja terpancing emosinya dan berbalik menatap wanita itu dengan tatapan tajamnya. "Apa maksud anda ?" tanyanya.

Srek...Miss Melody selaku pembina konseling beranjak dari duduknya. "Maaf, tolong untuk sama sama tenang ,"ucapnya, pada Marsha dan ibu dari Reva, Anin.

Miss Melody kemudian menatap Alea dan Reva, bergantian. "Alea ,Reva ..tolong kembali jelaskan apa yang membuat kalian bertengkar ...sekarang ,"ucapnya.

"Re- reva ,"Alea menatap Reva dengan tatapan menyedihkanya. "Reva bilang kalau aku anak punggut, aku nggak punya Ibu ..hiks hikz...,"ucapnya, sembari mengusap tipis air matanya dipipi lalu sedikit mengadah. Ia bahakan sedikit mengibaskan tanganya, agar air matanya mengering.

"Loh, bukanya benar ? toh nyatanya selama ini yang selalu datang ke sekolah sekertaris Ayah kamu 'kan bukan Ibu kamu ?" saut Anin dengan sedikit memutar malas kedua bola matanya.

"Ya Tuhan, kenapa semenyedihkan ini ,"ucap Alea dengan nada lirihnya, akan tetapi masih terdengar oleh Marsha.

Mendengar ucapan Anin dan Alea secara bergantian sukses membuat emosi Marsha tersulut. Ia meraih tangan Alea, lalu menggenggamnya ."Heh Ibu, berani beraninya ya anda bilang kaya gitu dihadapan saya., "ucapnya, lalu sejenak menatap Reva. "Oh pantes aja, ibunya yang ngajarin ,"lanjutnya.

Anin melebarkan kedua matanya, menatap tajam pada Marsha. "Heh, apa maksudnya ? berani sama saya ? memangnya anda siapanya ...,"ucapnya, sinis.

"Kamu tunggu bentar ,"ucap Marsha pada Alea, lalu menghampiri Anin.

Srek...Alea, menahan Marsha. "Mah udah Mah, nggak ada gunanya ladenin mereka. Nanti Mama malah yang capek sendiri, mereka cuma caper ..,"ucapnya pada Marsha.

Merasa akan kembali terjadi kekacauan,Miss Melody kembali bertindak. Dengan kekuasanya sebagai Konseling di sekolah, ia pun mengambil tindakan dengan memberi peringatan pada Alea dan Reva untuk tidak lagi bertengkar. Selain itu Miss Melody juga memberi ijin Reva dan Alea untuk pulang bersama orang tua masing masing agar bisa merefleksikan diri dan besok kembali ke sekolah dengan suasana yang jauh lebih baik.

Setelah Alea dan Reva membuat kesepakatan perdamaian serta Reva berjanji tidak akan lagi membully Alea dengan kata kata kasarnya, akhirnya mereka di persilahkan untuk pulang lebih awal. Namun, meski begitu Marsha masih memendam rasa kesalnya pada Anin dan ia berencana memberi tahu Zean agar bertindak untuk masalah ini.

Tap...tap...tap...Marsha berjalan di koridor sekolah tanpa melepaskan genggaman tanganya pada Alea, setelah ia dan Alea mengambil tas Alea di kelas. Seolah menunjukkan pada siapapun yang melihatnya, tahu bahwa Alea tumbuh dalam lingkup keluarga yang lengkap.

"Alea..,"Zean yang baru tiba di sekolah putrinya itu segera menghampiri Alea, saat melihat Alea dan Marsha berjalan ke arah gerbang sekolah.

Tap...tap...tap....Zean mempercepat langkah kakinya, begitu juga dengan Marsha saat melihat kedatangannya.

Brugh...Alea berhambur memeluk Zean, menyembunyikan wajahnya di dada sang Papa.

Zean yang sedikit bingung dan khawatir, menatap Marsha seolah bertanya apa yang tengah terjadi pada Alea. "Alea menjadi korban verbal bullying, "ucap Marsha padanya.

Mendengar Alea menjadi korban bullying tentu saja Zean meradang, lalu mengurai pelukan putrinya. "Bilang sama papa, siapa yang berani bully kamu ..?" Zean menatap putrinya dengan tatapan menyala, menandakan jika emosinya tengah terbakar.

Tap..tap...tap...suara derap langkah terdengar melewati Zean dan Alea. Hal itu tentu saja membuat Alea menatap sumber suara derap langkah itu dengan tatapan menyedihkanya. Zean pun ikut menatap kearah sumber suara dan ia bisa langsung mengetahui siapa pembully putrinya.

Zean kembali menarik putrinya kedalam pelukanya. "Kamu tenang aja, biar papa yang urus ,"ucapnya, setelah sang pemilik derap langkah itu semakin jauh darinya.

Sang pemilik derap langkah yang tidak lain adalah Anin dan Reva itu, tentu saja mulai tidak tenang melihat keberadaan Zean di sekolah. Lebih tepatnya Anin, karena ia tahu siapa laki laki yang memeluk Alae itu. Bagaimana tidak tahu, Zean adalah CEO di perusahan tempat suaminya bekerja.

**

********

Setelah menyelesaikan masalah putrinya di sekolah dan memastikan pelaku bullying mendapatkan hukuman yang pantas, Zean pun memutuskan untuk membawa Alea dan Marsha pulang terlebih dulu sebelum ia kembali kerumah sakit, menjaga sang Kakak yang kembali di rawat. Akan tetapi Alea justru menolak dan memilih untuk ikut denganya.

Keadaan Talita lah yang menjadi alasan Marsha menjadi wali Alea saat pihak sekolah menghubungi Zean tadi, karena Zean tidak bisa meninggalkannya di rumah sakit dan Zean juga tidak bisa meminta tolong Ceu Eli, mengingat Ceu Eli juga tengah bertemu dengan investor dari Korea.

"Pah, 'Alea menatap Zean yang berdiri di sampingnya setelah mereka masuk kedalam lift, menuju lantai tempat sang Mama di rawat.

Zean yang sedikit tersentak kaget, menoleh dengan sedikit merunduk. "Mama pasti sembuhkan ?" tanya Alea padanya dengan tatapan mata penuh harap.

Zean mengulas senyum tipisnya, lalu mengangguk samar. "Pasti ,Mama pasti sembuh ..,"jawabnya, yakin. 

Klik...Zean menekan tombol di hadapanya, lalu pintu lift pun terbuka. Dengan tangan yang masih bertautan dengan Alea, Zean membawa Alea menuju ruang rawat Talita.

Tap...tap...tap....Alea berjalan dengan setiap langkahnya penuh dengan harapan dan rasa takut. Hingga langkahnya berhenti tepat di depan pintu ruang ICU, ruang rawat yang selalu membuatnya penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran meski ia sudah sering masuk kedalam ruangan itu untuk menjenguk sang Mama.

"Kamu mau masuk ?" tanya Zean pada Alea.

Alea sedikit meremat tangan sang Papa yang masih dalam genggamanya. "He,em...,"jawabnya dengan lirih.

Zean pun melepaskan tautan tangannya dengan Alea dan membiarkan Alea masuk kedalam ruangan di hadapan mereka.

Ceklek....pintu ruang ICU tertutup kembali setelah suster membantu Alea memakai baju steril untuk menjenguk Talitat didalam sana. 

"Hah...,"Zean menghela nafas beratnya, lalu berbalik dan bersandar pada dinding. Namun, tidak lama Zean perlahan luruh hingga terduduk di lantai. 

"Hikz...hikz...,"terdenga lirih suara tangisan dari Zean yang terduduk di lantai sembari memeluk lututnya.

Suara tangisan dari Zean semakin terdengar saat Marsha yang sejak tadi lebih banyak diam itu, memeluknya dengan erat.






*See You*

*Alea udah main mama mama aja ..hedeh*


More Better IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang