053. Halusinasi

4 0 0
                                    

Setelah semua kardus di keluarkan, kita membawanya masuk ke dalam studio olahraga.

Begitu tiba di dalam ternyata sudah ada beberapa anak yang hadir, dan mereka tengah membantu Gilbert menyusun net bulu tangkis. Aku melihat ada tiga net yang di pasang, sepertinya permainan ini akan dimainkan secara kelompok.

Setelah persiapan siap, kita pun menunggu kelas dimulai, dan selang beberapa menit akhirnya bel kelas berbunyi.

Kita berbaris di tengah lapangan sambil menghadap pelatih kita.

"Hari ini kita akan bermain bulu tangkis. Untuk alatnya kita sudah menyiapkan, jadi kalian bisa meminjam tapi tolong dijaga." pintanya.

"Siap Gilbert." Sahut kita.

Seperti biasa sebelum uji coba dimulai, Gilbert memberi contoh gimana cara mengayunkan raket dengan benar.

Setelah penjelasan itu barulah Gilbert menunjukkan cara permainannya.

"Ok, Saya minta satu relawan untuk memperagakan." ungkapnya.

Oliver beranjak dari duduk lalu berjalan ke depan untuk mengambil raket yang sudah disediakan di kardus. Setelah itu dia berjalan hingga tiba di depan net bulu tangkis, sementara Gilbert berdiri di seberangnya.

"Siap Oliver?" Tanya Gilbert.

Oliver mengangguk. Dia melempar kock di udara lalu memukul dengan raketnya. Kock itu terbang melewati net. Gilbert melihat arah kock itu terbang lalu menangkisnya. Begitu kocknya berbalik arah, Oliver mencari posisi dan memukulnya keras, kocknya terbang cukup jauh. Gilbert bergerak cepat dan menangkis balik.

Pertunjukan itu berlangsung beberapa menit, namun tapi tidak satupun mampu mencetak skor, sepertinya mereka berdua cukup lihai.

Mataku berkilat. "Oliver keren amat, basket bisa, bulu tangkis bisa."

"Tidak heran, dia pernah menang lomba waktu kelas enam SD." Balas Samantha.

"Oh ya menang lomba dari apa?" tanyaku berpaling padanya.

"Dia pernah menang lomba olimpiade."

Aku terbelalak. "Gila, keren amat."

Samantha mengangguk. "Iya, bahkan di tahun kedepan mereka akan mengajak Oliver ikut lagi."

"Hee gitu ya." Ujarku lalu balik melihat kedepan.

Gilbert akhirnya berhenti bermain, dia terlihat kelelahan, sedangkan Oliver masih baik-baik saja.

"Ok sampai disini penjelasanya. Hari ini kalian akan bermain berkelompok. Untuk kelompoknya saya yang akan menentukan. "Ujar Gilbert lalu ia membuka buku absen dan menentukan.

"Angel dengan jason."

"Samantha dan Oliver."

"Eva dan Quin." Sebutnya.

Alisku mengkerut. Aduh kenapa harus di pasangkan sama dia? Terakhir kali aku menentang perkataannya, dia tidak berani mengusik rumor itu, dan sejak itu dia menjauhi ku. Yah aku berharap dia tidak menyimpan rasa benci padaku, hanya karena perkara itu.

"Nama yang sudah di panggil harap maju." Pinta Gilbert.

Aku berdiri lalu berjalan ke kedepan dan mengambil raket ku. Setelah mengambil raket aku menghampiri net bulu tangkis.

Aku melihat Quin sudah berdiri di seberang. Tanganya melempar-lempar kock di udara sambil menatapku tidak senang.

Aku menelan ludah. Moga-moga permainan ini berjalan baik-baik saja.

"Ok siap ya kalian semua, satu, dua, tiga!" Gilbert meniup peluitnya.

PRITTTTT....

Permainan dimulai, Quin melempar kock itu lalu memukul ke depan, kock itu melayang ke arah ku, aku segera berlari ke depan dan memukul kock itu agar berbalik arah. Lily langsung dengan sigap berlari juga menampani kock itu.

Kita bermain selama beberapa saat, namun sejak tadi tidak ada kock yang sampai jatuh ke gawang lawan, permainannya cukup sengit, kita saling membalas kock itu.

Quin terlihat kesal dia pun memukul kock itu cukup keras hingga melayang ke atas cukup tinggi.

Aku berjalan mundur sambil melihat ke atas, tanganku sudah terangkat siap memukulnya. Namun saat aku melihat kock itu, tiba-tiba kock itu berubah menjadi burung gagak.

Aku mendelik kelak mengingat kejadian tadi pagi.

"Waaaa!" Jeritku spontan menunduk sambil menutup kedua mukaku.

Aku dengar anak-anak terkesiap, namun aku terdiam di posisi itu untuk beberapa menit, sampai tidak lama seseorang menepuk pundakku pelan.

"Eva? Kamu tidak apa?" tanyanya dengan lembut.

Aku berpaling dan memegang kedua pundaknya. "Kamu lihat ada burung gagak masuk tidak?" tanyaku sedikit panik.

Samantha mengerutkan alisnya. " Gagak? tidak ada."

Kening ku mengkerut. " Hah, tadi beneran ada." Bantah ku sambil menoleh kanan-kiri, tapi aku tidak melihat burung itu, yang aku lihat hanya wajah teman dan guru ku yang bingung melihatku.

Samantha memegang tanganku lalu menatapku. "Kamu sakit?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja."

Samantha menatapku cemas. "Tapi mukamu pucat, gimana kalau kamu ambil obat dulu di uks? Ada kok obatnya."

Aku tersenyum kecut. "Tapi, sungguh aku baik-baik saja."

"Udah ambil aja, daripada makin parah." ungkapnya dengan tatapan serius, dimana jelas aku tidak bisa menolak.

Aku menghela nafas karena tidak bisa membantah lagi. "Baiklah." Jawabku menyerah.

Aku pun keluar dari studio olahraga dan pergi ke uks. Sepertinya ruang uksnya kosong, karena aku tidak melihat nama siswa yang terdaftar di buku absen. Jadi aku bisa masuk tanpa ijin dulu.

Begitu tiba di dalam Mataku melirik ke depan peralatan obat ada di ujung ruangan.

Sebenarnya aku bingung, aku ini sakit tidak sih? Aku memegang kepalaku tidak panas, tapi tadi aku membayangkan aneh-aneh. Apa ini gejalanya? Kalau iya lebih baik cari obatnya deh.

Aku berjalan menghampiri lemari itu, tapi begitu tiba sontak mataku berpaling ke kiri. Ternyata di sebelah lemari itu ada bilik kecil dengan sofa memanjang dan di sofa itu ada seseorang yang tertidur di sana.

Aku mendelik begitu mengenali rambut coklat dan paras tampan itu.

"Ju julius?"


Eva daily lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang