095. Teman sejati

7 1 3
                                    

"Sam?"

"Numpang lagi ya." Ujar seseorang yang duduk di depan ku. Ternyata itu Oliver.

Aku terbelalak menatap mereka berdua. "Kenapa kalian di sini?"

"Kenapa? jelas mau makan." balas Samantha santai.

"Eh, kalian tidak benci padaku?" tanyaku lagi.

Samantha menepuk bahuku. "Hei, tenang aja aku tidak mungkin benci padamu."

"Kita ada di sini untukmu." Tambah Oliver.

Aku sungguh lega ternyata mereka masih mau berteman dengan ku.

"Tadi aku mau ngajak kamu ngobrol waktu kamu datang." Samantha berkata. "Tapi setelah lihat ekspresimu aku jadi takut."

Aku mendelik. Hah justru aku yang takut Samantha benci padaku.

"Makasih." Ujarku lagi menatap mereka berdua. "Tapi aku penasaran kenapa kalian semudah itu percaya padaku? padahal teman-teman percaya pada ibu itu."

Samantha tersenyum sedih. "Itu, karena si nenek lampir pernah cari masalah sama kita."

Aku mendelik saat Samantha menyebutnya begitu. "Nenek lampir?"

Samantha mengangguk tanpa rasa bersalah.

"Masalah apa?" Tanyaku.

"Kamu ingat saat Oliver tidak masuk?" Tanya Samantha sambil mengambil jusnya.

Aku mengangguk.

"Nah dia di serang nenek lampir itu." jelasnya lalu menusuk sedotan ke dalam.

Alisku terpaut. "Hah gimana ceritanya?"

Samantha menyedot minumannya sebentar lalu melanjutkan. "Dari dulu si nenek lampir suka cari masalah sama ayahku, bahkan pernah menganggu ibu saat kerja."

Aku terbelalak. "Terus?"

Samantha menatap kebawah. "Waktu itu aku ingin minta tolong Lord Stefan tapi ayah melarang keras."

Aku terdiam. Ah pantas saja dia tertarik saat membahas Lord Stefan itu.

"Untuk hindari masalah itu, ayah mengajak nenek lampir ke kantor." Lanjut Samantha. "Aku pikir masalah sudah selesai. Ternyata saat aku di rumah sendirian nenek lampir datang. Dia marah-marah dan menyerangku."

Aku terkesiap sampai menutup mulutku.

"Waktu Samantha di serang aku kebetulan ada disana." Tambah Oliver. "Aku berusaha menolong Sam, tapi ibu itu mendorongku, hingga aku tersandung dan kepala ku terbentur tiang."

Aku tercegang mendengar cerita itu.

"Tapi yang kamu dengar dari mulut anak-anak berbeda benar?" lanjut Samantha.

Aku mengangguk. "Apa kamu tahu, kenapa ibu itu marah pada ayahmu?"

Samantha menggeleng lemas. "Semua yang terjadi Ayah tutupi semua, aku cuma bisa diam dan melihat saja."

Aku menatap kebawah. "Sama aku juga." Aku teringat saat Miss Andrea dan Samantha di serang. "Maaf atas apa yang terjadi pada ayahmu dan kakak kelas tadi."

"Bukan salahmu, lagian ini karena ibu itu." Balas Samantha.

"Emang apa yang terjadi, setelah aku pulang kemarin?" tanyaku berpaling padanya.

"Saat kamu pulang ayah berusaha membawa nenek lampir. Tapi sebelum pergi, nenek lampir memberi julukan 'penjahat' bagi siapapun yang dekat dengan Miss Andrea."

Aku mendelik sambil menutup mulut dengan kedua tanganku.

"Karena julukan itu kakak kelas tadi takut kalau ayahku bakal melukai Leo. Padahal ayahku cuma tanya biasa saja." Jelas Samantha seraya memegang ponselnya.

"Jadi karena itu ya?" Ulang ku lalu menundukkan kepala. "'Penjahat?' kejam sekali ibu itu, kenapa dia bisa mengangap kita begitu?" lirihku, air mata ku menetes.

"Sudah..." Jawab Samantha seraya menepuk pundak ku. "Selama ayahku ada di sini ibumu pasti aman, tenang saja."

Aku mengangkat kepalaku dan tersenyum. "Makasih, Sam."

Samantha tersenyum lembut ia lalu memeluk tubuhku. "Eva, kamu sudah mendukung ku di saat aku di salahkan, jadi sekarang giliran aku membalasnya."

"Kalau di rasa bantuan ayah Sam kurang masih ada ayahku!" balas Oliver yakin. "Sejak aku di serang ibu itu, ayahku juga tidak terima, jadi dia tidak akan tinggal diam."

Aku tersenyum sangking terharu atas kebaikan mereka. "Makasih teman-teman."

Samantha melepaskan dekapannya.

Oliver tersenyum lalu senyumnya hilang. "Mulai sekarang, kita akan di benci teman-teman. Tapi kalau kita bersatu kita tidak akan tergoyahkan." Balasnya yakin.

Aku mengangguk lagi.

Samantha nyengir. "Ya sudah mari makan, rayakan persahabatan baru kita!"

Untuk menghiburku, Samantha membawakan banyak kue manis. Aku bingung ada banyak sekali dan karena takut perut tidak kuat, aku sekedar mencicipi.

Setelah makan bersama kita juga foto di dekat taman sebagai kenangan. Begitu bel istirahat berbunyi kita balik ke kelas dan melajutkan pelajaran kita hingga akhir.



Eva daily lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang