Setelah berhari-hari menjalani rawat inap dirumah sakit, Mama Eva sudah diperbolehkan pulang hari ini.
Malamnya Andra dan Kirana langsung berkunjung ke kediaman keluarga Andra. Mau beliau membenci Kirana kayak gimanapun, Kirana tetap menghargai Eva. Nggak pantas juga rasanya Kirana balik membenci.
Terlebih, Kirana jadi makin sedih rasanya waktu melihat tubuh Eva makin kurus dari setelah sakit. Berat badannya menurun drastis. Cekungan dibawah matanya menghitam.
Kirana nggak bakal tahu kalau Mama Eva yang kerap sensi luar biasa padanya itu punya penyakit jantung seserius ini jika bukan karena huru-hara kemarin.
"Aan," Dengan suara serak dan dikuat-kuatkan, Eva memanggil Andra.
Andra segera mendekat. Bersimpuh didekat ranjang. Menggenggam tangan kurus dan ringkih ibunya dengan kedua tangan. "An disini, Ma. Gimana keadaan Mama? Udah enakan badannya?"
"Lumayan, An."
Mata Eva kembali berkaca-kaca. Dokter sudah mewanti-wanti supaya tidak membicarakan sesuatu atau menyinggung hal yang sekiranya berpotensi bikin Eva drop lagi.
Tapi Eva sendiri pun tak bisa mengontrol dirinya sendiri tiap kali melihat Andra atau Januarkan.
Hatinya sakit.
Eva tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri berkali-kali.
Kedua putranya. Kesayangannya. Yang Eva kira sudah dia besarkan dengan baik, rupanya menahan luka selama bertahun-tahun. Karena dirinya.
"Mama mau minta maaf sama An." Lagi. Entah sudah berapa kali Eva mengatakan itu pada Andra dan Januar. Andra menggeleng pelan. Matanya mulai memanas.
"Mama gausah mikirin apapun. Fokus aja sama pemulihan Mama. Biar cepet sehat lagi. An dan Mas Janu baik-baik aja kok. Kami nggak butuh permintaan maaf Mama yang kami perlu cuma Mama balik sehat lagi kayak sediakala. Semua yang sudah kejadian biarin aja. Nggak perlu Mama pikiran lagi, oke?"
Air mata Eva meleleh.
Dengan lembut nan hati-hati, Andra menyekanya. "Ma," Demi apapun, nggak ada pemandangan yang lebih menyiksa batin daripada melihat ibunya sendiri menangis dihadapannya seperti ini.
"Udahan, Ma." Andra mati-matian menahan air matanya sendiri. "Jangan bikin An ngerasa bersalah udah datang kesini."
"Aku sama Kiki kesini mau jengukin Mama dan lihat Mama baik-baik aja. Bukan malah bikin sakitnya Mama nambah lagi."
"Mama cuma sedih, Aan.." Eva berbisik hampa. "Apalagi kalau keingat Janu,"
Kirana sejak tadi cuma berdiri diam. Tapi sungguh, dia juga pengen nangis rasanya melihat kondisi Eva.
"Mas sama Mbak Krisa—mereka betulan sudah berpisah ya, An?"
Dengan berat hati Andra mengangguk.
Air mata Eva kembali bergulir. "Mama menyakiti hati banyak orang.. Janu, Krisa, cucu cucu Mama yang masih kecil—harus ," Tangisnya tumpah. "Harusnya Mama ndak melakukannya, Aan."
"Harusnya Mama nggak maksa Janu buat menikah sama Krisa kalau ujungnya seperti ini. Harusnya—harusnya Mama itu—"
"Udah, dibilangin jangan mikirin itu dulu. Semua yang udah kejadian nggak bisa di apa-apain lagi." Andra menenangkan. "Bukan sepenuhnya salah Mama. Jangan nyalahin diri terus. Nanti Mama kambuh lagi, loh. Katanya gak suka tidur dirumah sakit, hm?"
"Mama cuma nggak nyangka aja, Janu—Januarka—ternyata-" Eva lagi-lagi tak sanggup meneruskan. "Semua ini karena Mama egois. Mama nggak ngertiin perasaan anak-anak Mama. Mama terlalu banyak menuntut kalian sejak dulu."
