Disetiap pilihan pasti selalu diikuti konsekuensi pula dibelakangnya.
Kirana memilih keputusan menikah dengan Andra, walau diikuti tanda kutip dibelakangnya, tapi tetap saja itu berarti dia mesti terima kalau nggak selamanya yang dia jalani bakal mulus-mulus saja.
Selalu ada batu sandungan dan terjalnya. Lagian, begitulah hidup. Kalau nggak ingin dapat cobaan, ya mati saja.
Pas mau menikah dulu, Andra juga sempat konflik dengan Ibunya. Padahal pihak keluarga yang lain sudah clear. Pendekatan Kirana diterima baik oleh mereka. Begitu pula sebaliknya. Didukung sama fakta kalau mereka memang pernah punya hubungan sebelumnya.
Tapi Ibunya masih ngotot sendiri bahkan sempat ngambek karena pengennya Andra menikah dengan gadis pilihannya. Bukan Kirana.
Pas Kirana tahu soal itu, Andra langsung menemui dia, terus bilang, "Kamu gausah khawatir. Aku tetap sama keputusanku di awal."
"Seandainya kamu nggak ketemu aku waktu itu, terus aku nawarin kesepakatan ini, apa kamu juga bakal nikahin orang lain buat batalin perjodohan kamu, Mas An?"
"Enggak."
"Kenapa?"
"Karena itu kamu."
"..."
"Kalau bukan kamu, aku mungkin nggak akan seyakin dan senekat ini, Kirana."
"..."
"Karena kamu lebih dari kata layak buat diperjuangkan."
Andra nggak pernah bikin janji atau omong kosong berbalut bualan manis, tapi dia selalu bertanggungjawab sama semua kata-katanya.
Pun, hingga detik ini.
"Kirana,"
"Kamu masih mau bahas yang tadi? Boleh. Tapi nanti dulu. Karena kita nggak punya banyak waktu sekarang."
Kirana berbalik, menerjang Andra dan mendorong dadanya secara bar-bar untuk kembali ke kamarnya sendiri. Kedua kaki Andra terpaksa tersaruk mundur dengan keteteran.
"Jangan keulang lagi kayak yang waktu itu. Kita kudu mindahin semua barang-barang kamu ke kamarku!"
"Kirana-"
"Mas Aan," Kirana mengerang jengkel. Habis itu mencubit pinggang Andra sampai si empu membungkuk dan menjauhkan diri sambil meringis-ringis. "Mama udah otw kesini loh. Kalau kita nggak gercep, bisa-bisa nanti panjang urusannya. Kita bahas itu nanti dulu. Yang kooperatif dong!"
"Iya-iya, maaf."
Dan yang terjadi selanjutnya adalah keriweuhan mereka memindah barang-barang Andra ke kamar Kirana.
Kirana sebetulnya kesal. Emosi. Pengen ngamuk juga sih. Tapi ya gimana. Dia kudu menahan diri. Kesampingkan dulu emosinya karena bakal bikin kacau kalau nggak di kontrol.
Lumayan bikin bengek sih bolak-balik sambil buru-buru. Tapi mereka kudu bergerak cepat sebelum Mama Eva tiba dan menciduk sandiwara mereka yang telah berjalan setahun ini.
Bukan cuma bikin keluarga ngamuk, tapi juga berpotensi bikin harga diri Kirana anjlok ke dasar kerak bumi kalau sampai mereka terbongkar.
"Kamu taruh daleman dimana, sih, An?"
Andra baru melangkah ke pintu, mendekap satu kardus penuh berisi barang-barang kecilnya; jam tangan, buku, sepatu, figura foto, parfum, dan apalah itu--ketika Kirana bertanya.
"Mau diapain? Buat apa?"
"Jawab aja dimana cepet."
"Di lemari itu. Laci kedua dari bawah sebelah kanan."