Mencoba membiasakan diri dengan sesuatu yang tidak pernah kita niatkan untuk ada, bukan sesuatu yang mudah.
Kirana sukses dibikin jengkel dengan segala perubahan tubuhnya semenjak hamil. Apalagi pada bulan-bulan di trimester pertama. Mulai dari kenaikan berat badan, rasa lemas, letih dan lesu sepanjang hari. Penurunan nafsu makan dan morning sick yang memuakkan.
Tubuhnya seolah lagi kompak bertingkah manja. Mencium sesuatu yang aneh sedikit saja, perutnya langsung mual. Sampai-sampai dia tidur pun harus pakai masker. Memang tidak setiap hari banget sih begitu. Tapi tetap saja hal itu merepotkan.
"Udah?"
"Umh-" Kirana bahkan tak diberi kesempatan menjawab Andra, karena dorongan mual kembali mengocok perutnya. Memaksa Kirana kembali menunduk, memuntahkan sesuatu yang sia-sia.
Andra turut prihatin melihatnya. Jadi sebisa mungkin Andra tetap berada didekatnya, menemani Kirana. Mengupayakan apapun yang bisa membantunya.
"Ngapain disini?" Kirana mendesis sewot usai berkumur dan membasuh wajahnya yang letih. Tangan Andra ditepis saat hendak menggendongnya. "Sengaja mau lihat aku kayak gini, kan? Senang kamu pasti."
"Nanti kamu jatuh."
Belum juga ada 3 detik, Kirana susah hampir terpeleset karena sandal yang licin. Untung Andra sigap menahan pinggulnya sebelum menghantam lantai.
"Tuh, kan. Coba aja aku tadi nggak disini? Udah jatuh kamu."
"Malah gara-gara kamu disitu aku jadi jatuh!"
"Tapi kan aku-"
"Ah! Sana-sana!" Kirana mendorong risih Andra. Berlagak oke-oke saja walau rasanya lemas bukan main. Perutnya juga jadi mual lagi karena kepalanya pusing dan terasa berputar-putar.
"Makannya sedikit-sedikit aja. Tapi sering. Kalau kerasa nggak kuat jangan dipaksa. Nanti makan lagi kalau udah nggak eneg perutnya. Biar nggak mual terus." Andra bertutur lembut.
"Halah bacot."
Meski diberi respon sinis dan sadis, Andra tidak menggubris. Dia tetap mengintili Kirana kemanapun perempuan itu pergi. Tak henti mengingatkan ini-itu meski dibalas ketus. Atau tetap mengamatinya meski dari jarak jauh saat Kirana sudah mulai menggerutu risih.
Andra tidak peduli. Karena lebih baik dia dimaki-maki daripada melihatnya terluka atau kenapa-napa.
"Kamu masih mau kerja dengan kondisi kayak gitu?"
Kirana melirik tidak santai. Blazer yang dia ambil dilempar ke atas kasur. Lantas menjawab sinis. "Apa? Emang aku kenapa? Ada yang salah sama aku, ha?"
Andra bersender ke pintu. Jelas dia jauh dari kata sehat dan baik-baik saja. Wajahnya lesu, rambutnya kusut, kantung matanya menghitam dan kelihatan lemas seperti orang kekurangan darah. Tapi dia tetap ngotot dan keras kepala setiap hari.
"Takutnya nanti pingsan lagi."
Sebab kemarin pas Andra menjemput kerja, Kirana pulang-pulang pingsan karena kelelahan.
"Mas lagi mau ngomong apa sih? Gausah basa-basi deh, langsung aja ke intinya. Males aku ngomong lama-lama sama kamu."
"Istirahat dulu dirumah, gimana?"
Kirana melepas gelak sinis. "Istirahat? Bilang aja kamu mau nyuruh aku resign."
"Aku nggak-"
"Aku udah bermurah hati banget loh nggak ngapa-ngapain dia seperti yang kamu minta. Kok makin kesini kamu makin banyak maunya ya."
"Aku cuma minta kamu istirahat. Bukan berhenti kerja, Kiki." Andra membalas sabar.