⚠️
**
Kirana menengadah, matanya seketika menyipit saat tanpa sengaja tersorot sinar matahari yang menerobos lewat celah kanopi megah dedaunan yang membentang diatasnya.
Wajahnya menghangat. Beberapa daun kering terlihat gugur tertiup angin, berserakan diatas rerumputan hijau sejauh mata memandang. Daun-daun gugur berwarna oranye dan cokelat itu sejenak mengingatkan Kirana pada potongan latar tempat di salah satu drama yang pernah dia tonton.
Dengan jarak satu lemparan batu dari tempatnya duduk saat ini, terdapat sungai dangkal yang airnya begitu jernih. Sehingga batu-batuan didasar sungai itu kelihatan jelas. Langitnya biru cerah. Tanpa awan. Sinar mataharinya terasa hangat, bukan terik yang menyengat. Udaranya begitu ringan dihirup, bebas tanpa terjamah polusi.
Kirana tidak tahu persis dirinya sedang berada dimana. Tempat itu asing. Terlampau damai, indah dan nyaris tidak nyata untuk bisa Kirana kenali.
Kirana menunduk, telapak kakinya yang lembut bergesekan langsung dengan rerumputan hijau pendek. Dengan jejak embun di pucuk-pucuk rumputnya yang terasa sejuk saat mengenai kulit.
Lalu tiba-tiba saja ada sepasang kaki kecil yang muncul dihadapannya. Pemilik kaki mungil itu terkikik saat ujung kakinya bersentuhan dengan ujung jari-jari kaki milik Kirana.
Kirana mengangkat wajah, temukan sosok anak laki-laki kecil yang tidak terlalu jelas wajahnya. Anak itu tersenyum. Kelihatan lucu dan tampan. Kirana berkali-kali mencoba mengenali anak itu. Tapi tidak juga temukan jawaban dia siapa. Wajahnya memburam, diselimuti semacam kabut tipis disekelilingnya.
"Kamu siapa?"
"Pasangin."
Anak laki-laki itu menyodorkan tangan kirinya. Kemudian telapak tangannya dibuka. Sebuah gelang kusut yang terbentuk dari jalinan benang merah dan hitam diulurkan pada Kirana. "Aku nggak bisa masang sendiri. Tolong pasangin ya."
Kirana tidak bertanya lagi, meraih gelang itu lalu memasangkannya dipergelangan tangan si anak. Anak itu tertawa senang. Lalu menatapnya dengan binar lugu yang selama sesaat, entah kenapa, justru membuat Kirana ingin menangis.
"Terimakasih."
"Iya."
"Jangan nangis." Anak itu mengikis jarak. Saat dia berdiri, kepalanya sejajar dengan kepala Kirana. Tangannya terulur, jari-jarinya mengusap bagian bawah mata Kirana dengan hati-hati. Satu tangannya yang sejak tadi tersembunyi dibalik punggung, dikeluarkan. "Ini buat kamu."
Kirana diberi setangkai bunga berwarna putih. "Jangan sedih."
"Aku nggak sedih."
"Kamu selalu kelihatan sedih."
"Iya?"
"Mm-mh."
"Terimakasih bunganya. Kamu dapat ini dari mana?"
"Dari sana."
"Apa kamu kenal aku?"
"Banget." Anak itu memamerkan senyum. "Aku mau pergi dulu. Nanti kita ketemu lagi ya."
"Kita bakal ketemu lagi? Kamu mau kemana?"
Dia mengangguk. "Jangan sedih, kita bakal ketemu lagi kok."
"Udah kubilang aku nggak sedih."
"Kamu suka bohong."
"Nggak bohong."
"Yaudah, dadah.."
"Eh, tunggu! Hey! Kamu mau kemana!"
Setelah itu semua yang ada di sekelilingnya memudar. Berhamburan di udara seperti pasir yang diterjang pusaran angin.
