Aku kembali menggenggam tangan hangat itu. (Firman POV)

11 0 0
                                    


Aku merindukan gengaman tangannya itu. Menghilang selama dua hari tidaklah membuatku merasa tidak kehilangan. Faktanya, aku benar-benar kehilangan sosoknya selama 2 hari itu. Meskipun orang itu berusaha menggantikannya.

Malam itu, setelah mendapatkan perawatan di ICU, aku segera menghubungi ibuku supaya beliau tidak khawatir. Aku mulai menceritakan segalanya.

"Iyo nang, rapopo. Ngesuk ra sah sekolah sek yow rapopo, Alhamdulilah Satrio ketemu.. Menko tak gawekke surat dokter kanggo kowe yo lee..(Iyo nak, tidak apa-apa, besok tidak usah sekolah dulu ya. Alhamdulillahnya Satria ketemu. Nanti ibu bikinin surat Dokter untuk kamu ya nak." Ucap ibunya melalui sambungan telfon.

Sambungan itu berakhir, aku senang ibu mendukungku malam ini. Dia malah seperti terlihat lega setelah mengetahui bahwa Satria baik-baik saja. Meskipun dalam keadaan yang cukup parah lukanya.

"Tuan Firman Santoso." Seorang perawat memanggil namaku, aku bergegas menoleh.

"Iya Mbak?"

"Keadaannya sudah membaik, kami sudah memberikan perawatan untuk luka dipunggungnya. Tetapi diharuskan untuk istirahat paling tidak satu minggu."

"Iya, tidak apa-apa mbak."

"Jangan khawatir, sudah diurus untuk perawatannya."

"Heh? Sama siapa mbak?"

"Kau tidak perlu tahu, Tuan Firman harus segera menjenguknya." Si perawat tersebut meninggalkan Firman. Aku segera bergegas memasuki kamar tersebut.

Aku membuka perlahan pintu kamar itu, kutatap Mas Satria. Saat ini dia tertidur dengan posisi tengkurap. Aku kemudian duduk di samping kursinya. Kutatap wajahnya yang saat ini tertidur dengan damai, dia terlihat seperti pertama kali Firman melihatnya di kamar Satria. Polos, tetapi tampan. Aku tidak berani mengganggu tidurnya yang damai itu.

Setelah beberapa menit, aku tersentak kaget mendengar dengkuran keras dari Mas Satria. Aku tertawa kecil. Sepertinya Mas Satria terlalu lelah mengalami penyiksaan fisik dari orang itu sehingga tidurnya pun pulas sekali.

Tanpa sadar aku juga ikut tertidur dan aku menggunakan tangan Mas Satria untuk bantal. Aku terbangun karena ada yang mengelus kepalaku. Aku membuka mataku, dan memperhatikan Mas Satria.

"Mas, Maaf adek ketiduran." Aku terbangun, menatap mas Satria.

"Tidak apa-apa, kau tidur lagi saja." Kurasakan Mas Satria masih mengelus kepalaku sambil memberikan senyumnya.

"Tapi.... " Suaraku terhenti karena perutku keroncongan, aku tertunduk malu.

"Kau belum makan cil. Orang tuaku sempat mampir dan menitipkan makanan untukmu." Aku melihat Mas Satria menunjuk bungkusan makan di meja dekat buah-buahan. "Besok mereka akan kembali kesini. Mereka memintamu untuk menunggu mereka dulu ya. Sudah makan dulu."

Aku mengangguk tersipu malu. "Kok mas ga bangunin aku si? Masa aku ngorok ketika ada orang tuamu." Aku beranjak mengambil makanan di meja.

"Tidurmu lelap banget, seperti tidak tidur berhari-hari Cil." Dia tertawa.

"Sejujurnya aku tidak bisa tidur Mas, mikirin kamu." Aku duduk dengan makanan ada di pangkuanku.

Dia memberikan senyumnya, aku kembali tersipu karena tak bisa kupungkuri, senyuman itu kurindukan. Aku membuka bungkusan makanan itu dan membuka makanannya. Nasi Goreng!

"Kau tidak perlu memikirkan itu, Mas baik-baik saja kok." Dia menyeringai jahil ke arahku. Lalu reflek ku cubit hidungnya.

"Baik-baik saja, tapi kau sekarat mas." Aku tertawa kecil.

"Iya, cambukan itu memang menyakitkan. Aku harus akui itu."

"Jangan-jangan kau menikmatinya ya mas?" Ucapku menggoda sambil mulai makan.

"Tentu saja tidak!" Kudengar Mas Satria membantah.

"Iyaa Mas, Adek tahu. Udah istirahat lagi."

"Ga bisa, Mas kangen adek. Pengen peluk Adek."

"Nanti kalau sudah sembuh ya." Kujawab sambil mengecup pipinya.

Mas Satria merengut kearahku. "Baiklah. Mas akan segera sembuh."

Aku kemudian melanjutkan makanku sambil mengawasi Mas Satria kembali.

"Ngomong-ngomong Mas tau tidak, kalau Mas Ardi punya ketertarikan denganku?" Aku bertanya.

"Mas sudah tahu dari lama. Mas sudah liat cara dia ngobrol denganmu. Itu rasanya berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Kemudian aku sempat bertanya dengan Okta. Dia kan senior Okta di ekskul. Okta tidak bilang iya, tetapi dia bilang bahwa Ardi itu bertingkah lebih baik disampingmu daripada dengan orang lain, bahkan dengan juniornya."

"Oh, kok mas ga bilang?" Aku bertanya penasaran.

"Mas ga ingin kau tahu, karena takut kamu juga ada rasa sama dia Dek."

"Hmmm. Padahal tidak lho."

"Kau kenal dia dulu daripada aku. Itu saja satu step yang sangat berbahaya."

Aku tertawa kecil. "Tetapi aku mengenalimu dulu daripada dengan orang itu. Siapa coba hari pertama yang berdiri siaga di depan gerbang?"

Kulihat mas Satria hening sejenak, "Tunggu dek, Kamu tahu mas yang berjaga di depan gerbang hari pertama sekolahmu?"

"Iya, Kamu kan mas?" Aku tertawa, mengamati ekspresi syoknya.

"Baiklah. Pasti memberikan first impression yang baik ya?"

"Ah masa?" Ucapku menggoda.

Kemudian Kami tertawa di tengah keheningan malam rumah sakit.

Kisah Kasih Di Sekolah. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang