Bahkan besoknya pun Aku belum menerima kabar dari Satria. Sudah kucoba untuk menghubungi dia, masuk ke kelas dia, tetapi hasilnya nihil. Bahkan dikelas dia terhitung Alpha.
"Bro, dia akan baik-baik saja." Okta yang mencoba membuatku tenang dengan menepuk pundakku pelan.
"Aku tidak tahu, aku merasa Khawatir."
"Tenanglah, mau kucoba kuantar kerumahnya?"
"Boleh, tapi kau kan ada ekstrakurikuler nanti sore."
Okta mengangguk. "Kita coba kerumahnya setelah aku latihan. Kau dapat menungguku di tepi lapangan. Aku tidak mendapat notifikasi kalau paskibra libur."
"Okta, terimakasih." Mataku berkaca-kaca menatap Okta. Aku berharap aku segera bertemu dengan pujaan hatinya.
Sore hari itu, aku duduk di tepian kelas menyaksikan Okta dan kawan-kawan berlatih paskibra. Aku juga mengamati, tidak ada dia disana. Namun sepertinya (mungkin) teman Satria sudah mengantisipasinya sehingga semuanya sehingga semua latihan berjalan lancar.
"Kau sendirian saja?"
"Mas Ardi." Kuperhatikan dia duduk disampingku.
"Aku menunggu Mas Satria, Mas Ardi liat dia ga?" Ucapku dengan memelas.
"Satria? Tidak, dia tidak masuk kelas sejak kemarin."
"Oww oke." Aku termenung kembali menyaksikan anak-anak paskibra berlatih
"Hey, yang ceria ya. Satria baik-baik saja." Ardi meremas bahunya pelan.
Aku mengangguk, "Terimakasih Mas."
"Mau ikut ga?"
"Kemana mas?" Tanyaku sambil mengalihkan wajahku ke mas ardi.
"Ke lapangan basket. Aku bawa bola basket ni."
"Aku disini saja mas. Aku lagi nunggu Okta selesai." Aku memberikan senyum.
"Baiklah, Kakak tinggal ya."
==================================================================
Ardi POV
Sialan! Sialan sialan!!!
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di pikiranku setelah aku mencoba menghibur Firman. Sepertinya Firman dan Satria sudah tidak terpisahkan meskipun mereka baru sebulan berjalan. Aku memutuskan untuk meninggalkan sekolah, menuju basecamp dimana aku menyekap Satria.
Satria memang temanku SD, bisa dibilang mereka cukup dekat. Tetapi Aku tahu, Satria tidak pernah mau ikut campur dengan urusan apapun denganku karena backgroundku yang seorang anak mafia. Ya benar, kalian tidak salah dengar, aku adalah anak mafia kelas kakap dari Jakarta. Orang tuaku sengaja membuatku bersekolah di desa, dimana aku tinggal sendiri bersama para pembantu.
Aku membuka garasi dimana aku menyekap temanku sendiri. Aku melihat dia dari kejauhan, berdiri terikat rantai dengan tangan kanan dan kiri direntangkan. Kakinya terikat dilantai karena pada hari pertama, Satria mencoba menendangnya. Badannya penuh luka sabetan cambuk, berdarah merah. Wajah Satria menatap ke bawah seperti tertidur.
"Pak Bejo, gimana keadaannya?"
"Iya Den, Dia tertidur dengan keadaan seperti itu. Seperti yang Den tahu, semalamDen siksa dia dengan parah."
Aku mengangguk, "Tolong siramkan air Pak ke wajahnya. Pak Arif, tolong rekamkan ini."
Aku mengambil smartphone ku, kemudian aku serahkan ke Pak Arif.
Sementara Pak Arif melakukan perekaman video, Aku melihat Pak Bejo juga menyiram Satria dengan air dingin. Membuat Satria tersadar sekaligus batuk.
"Sepertinya tidurmu nyenyak sekali ya?" Aku berdiri dihadapan Satria yang terluka parah karena penyiksaanku kemarin.
"Uhuuk, Ardi, sialan kau." Kutatap wajah Satria yang saat ini penuh dengan rasa sakit. Kulihat dia mengibas-ibaskan rambutnya yang basah. Aku bisa melihat dia mengernyitkan dahinya krna mungkin kesakitan. "Mimpiku indah bersama Firman, Kau ganggu."
"Sialan kau, sengaja ya kau memanasiku?" Aku berkata murka padanya sambil menjambak rambutnya, menatap dalam-dalam ke matanya.
"Kenapa? Kau iri kan tidak mempunyai kebahagiaan yang Kami miliki." Satria menyeringan ke arahku. Aku tidak menyukai tatapannya.
"Aku tidak iri, buktinya aku bisa menangkapmu, bisa menyiksamu. Aku sedang merekammu saat ini, dan mungkin rekaman ini bisa membuat Firman kecil jadi khawatir. Jangan khawatir, kau akan menjadi aktor utamanya. Siksaannya tidak akan berat kok." Aku menepuk bahu Satria pelan, Satria menggertak, berusaha melepaskan diri dari ikatannya.
"Jangan kau berani-berani membuat dia tersakiti!" ancam Satria.
Aku duduk dikursi singgasana terbaik untuk menatap Firman, Pak Arif menyerahkan handphoneku dan aku memberikan signal ke Pak Bejo dengan cambuk itu. Pak Bejo kini mengambil posisi di belakang Satria dengan cambuk di tangan.
"Aku pertegas kembali. Kau bisa bebas, tapi berikan Firman padaku." Aku menyeringai.
"Kau pikir dengan cara seperti ini, bisa membuat cinta kami berdua berhenti?" Satria menatapku.
Aku memberi tanda ke Pak Bejo untuk bisa mulai mencambuk Satria. Selama beberapa menit, hanya suara lecutan cambuk terdengar dalam keheningan sore itu. Desahan kesakitan Satria juga semakin berat. Aku memutuskan berjalan kesamping pak bejo untuk mengecek luka punggungnya.
"Cukup Pak." Aku mengamati luka tersebut seakan-akan mengamati karya seni indah yang tergores di tubuh seorang lelaki.
"Kau tau kan, aku tidak main-main denganmu."
"Pengecut kau Ardi." ucap Satria dalam nafasnya yang terengah-engah.
"Aku bukan pengecut, tapi aku penindas. Apakah kau ingin aku membunuhmu dalam sekejap?"
"Bunuh saja aku." Satria mencoba membebaskan diri dari rantai tersebut, namun hanya gemrincing suara rantai yang ada.
Aku menyeringai, kemudian melanjutkan menyiksa temanku sambil merekamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kasih Di Sekolah. [END]
RomansaBoyxBoy [please do not report!] Kisah Firman yang menjalin sebuah percintaan terlarang dengan seniornya, Satria. Dimana kisah cinta mereka berdua dipenuhi drama anak Sekolahan. Original Story by me.