enam

3.1K 84 0
                                    

Gesa terbangun pukul enam pagi. Neneknya sudah tidak berada disampingnya lagi. Ia pun bergegas mandi membersihkan diri.

Saat sudah dilantai satu, ia melihat oma nya yang berkutat didapur dengan para maid yang setia.

"Morning oma, biar Gesa bantu" ucapnya.

"Morning too sayang, tidak usah, kamu duduk saja dimeja makan ya"

"Tapi oma-"

"Nurut sayangku" Gesa berjalan menuju ruang makan yang juga ada beberapa maid disana. Para maid itu tengah menata piring, salah satu dari mereka memundurkan kursi untuk Gesa duduki.

Sungguh, Gesa merasa tidak nyaman. Saat orang lain bekerja, dan ia malah duduk sendirian di kursi ruang makan ini.

Ia pun tersentak saat merasakan benda kenya menyapa kedua pipinya.

"Morning sayang"

"Pagi sweetie heart"

Gesa memutar bola matanya malas. Ternyata itu adik kembarnya.

Kedua bocah kembar itu langsung duduk di kanan kiri Gesa. Gavi mengambil buah anggur lalu dimasukannya kedalam mulutnya. Mengunyahnya sambil menatap wajah cantik Gesa.

Gevi sendiri sudah menyelinapkan tangannya masuk kedalam dress yang dipakai gadisnya. Mengelus paha dalam gadis itu sensual.

"Hentikan Gevi!" Mohon Gesa tetapi sama sekali tidak dipedulikan laki-laki itu.

Evan datang dengan setelan kerjanya. Pria tua itu langsung menuju dapur untuk mengecup pipi istrinya lalu menghampiri ruang makan dimana para cucunya berada.

Ia hanya menatap mereka satu persatu. Gavi yang brada di sisi kanan menatap cucu perempuannya sambil terus memakan anggur, dengan lengan yang ia sandarkan pada meja, satu tangan lainnya berada dibelakang leher gadis itu.

Ia mengalihkan pandangan pada Gevi yang berada disisi kiri. Laki-laki itu bermain ponsel dengan satu tangan. Sedangkan cucu perempuannya diam menunduk, raut wajahnya seperti orang gelisah dengan kedua tangannya yang terus bergerak seperti menahan atau mendorong sesuatu dibawah. Kini Evan tau tangan Gevi yang satunya lagi berada dimana.

Dia berdehem keras untuk mengambil perhatian cucu-cucunya.

"Kalian lembur" ucapnya singkat, padat dan jelas yang membuat kedua mata si kembar sama-sama melotot.

"Tidak bisa begitu opa, kami harus istirahat" protes Gavi.

"Kami semalam juga lembur hingga jam empat pagi dan itu masih kurang?" Sahut Gevi.

"Pemikiran kalian masih belum cukup untuk memahami dasar-dasar perusahaan ku! Aku jadi ragu menyerahkan semua perusahaan ku pada kalian"

"Ck..." Mereka berdecak secara bersamaan. Lebih baik menurut dari pada tidak jadi menjadi pewaris semua perusahaan maju milik sang kakek.

Perhatian si kembar teralihkan saat melihat kakaknya memundurkan kursi kebelakang hingga menimbulkan suara decitan antara kursi kayu itu dengan lantai marmer.

Gesa berpindah karena tidak nyaman dengan adik kembarnya. Ia menuju dapur untuk membantu Bella namun tetap ditolak oleh wanita tua itu, akhirnya ia beranjak ke kamar.

Anak kembar itu saat melihat kakaknya menuju lantai atas pun bangkit ingin mengikuti tetapi suara dari Evan mengurungkan niat mereka.

Gesa didalam kamar mengecek ponselnya. Untungnya ia memiliki dua ponsel, dan itu ia sembunyikan dimansion mewah ini. Didalam kamarnya. Ponsel satunya dirampas oleh kedua adiknya.

Ia mencoba menghubungi semua orang terdekatnya namun tidak ada satupun dari mereka yang membalas pesannya. Gesa teringat sesuatu. Kemarin neneknya juga mencatat nomor telepon dari saudari neneknya itu.

Memasukan nomor itu lalu dengan ragu menghubungkan panggilan yang ternyata diterima oleh seseorang diseberang sana walaupun menunggu sekitar 30 detik an.

"Ya, siapa?"

Gesa mendengar suara berat didalam ponselnya. Alisnya berkerut. Ini benarkan? Neneknya memberikannya nomor telepon bibi nenek Liliana?  Atau...

"Bu Liana sedang sibuk, anda mau bilang apa? Nanti saya sampaikan"

Sopan banget.

Mungkin ini suara anaknya, kan Bella kemarin mengatakan kalau suami dari bibi neneknya ini sudah tiada.

"Sa-saya-"

"Gesa, sarapan nak" ucapan Gesa terhenti karena teriakan neneknya dari arah luar pintu. Ia pun buru-buru memutuskan panggilan itu sepihak lalu bergegas turun untuk sarapan.

Meja makan itu cukup panjang yang hanya terisi empat orang saja. Kedua adik kembarnya lalu kakek dan neneknya. Gesa memilih untuk duduk disamping neneknya saja, dan dihadapannya kursi  kosong, sebelah kursi itu duduklah Gevi.

Pagi ini ia sarapan dengan tenang. Meja ini cukup lebar jadi meskipun kakinya Gevi panjang tetap saja kaki itu tidak akan sampai ke pahanya. Gesa tau sedari tadi laki-laki itu terus bergerak karena kakinya ingin menjangkau paha mulus Gesa dari bawah meja makan namun tak sampai.

Semua berjalan lancar. Bocah kembar itu berangkat kerja bersama sang kakek lalu Gesa dan nenek berunding untuk membuat rencana di desanya bibi nenek Liliana nanti.

"Adikmu tidak akan mencarimu karena desa itu berada dihutan dan hutannya sangat lebat dan luas, tapi kau akan betah karena suasananya. Meskipun pedesaan, penduduknya sangatlah ramai" jelas Bella. Gesa memperhatikannya dengan tatapan serius. Demi apapun ia harus terus berada disana, membantu Liliana dalam hal apapun.

"Aku sudah berbicara dengannya tadi. Dia menunggu kehadiran mu besok" imbuhnya.

"Makasih oma, kalau bukan karena oma siapa yang akan membantuku?"

"Oma masih ada karena oma istrinya opa mu. Jika tidak, mungkin oma sudah berbeda alam karena kedua adikmu"

"Hiks.... Oma jangan berkata seperti itu"

"Haha enggak, oma hanya bercanda"

Mereka lanjut berbincang-bincang ditaman belakang dengan ditemani secangkir teh hangat, hingga waktu berganti siang.

Gesa berganti baju untuk menjenguk keadaan orangtuanya dan juga Haura. Hatinya sangat takut dan juga sedih. Bagaimanapun ini semua adalah salahnya, jika ia menurut dan tidak melarikan diri pasti orang-orang terdekatnya masih tersenyum sekarang.

Gesa membuka gagang pintu kamar inap dirumah sakit ini. Ia menutup mulutnya mengunakan telapak tangan saat melihat kondisi kedua orangtuanya.

Seluruh alat bantu maupun selang menempel pada tubuh kedua orang tercintanya itu. Air matanya tidak bisa ia tahan, gesa menangis ditengah-tengah brankar orangtuanya.

"Maafin... hiks.. hiks... Maafin Gesa... hiks..." Tangisan Gesa terdengar pilu, Bella pun ikut meneteskan air matanya saat melihat cucu perempuannya itu.

Bella membiarkan cucunya sendirian dikamar inap ini, ia menunggu diluar. Hatinya sakit melihat suara pilu gadis itu. Itu mengingatkannya pada mendiang kedua orangtuanya. Dimana mereka meninggal akibat dibunuh oleh Evan didepan matanya sendiri. Itu semua karena obsesi gila pria itu, yang sekarang malah menurun pada cucu kembar mereka.

Menjadi pusat obsesi dari dua monster gila? Ia bersyukur cucu perempuannya itu tidak berpikir untuk mengakhiri hidupnya.

Menangani monster obsesi satu saja sudah membuatnya muak, apalagi dua!.

.
.
.
.
Next..

The Twins 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang