dua belas

2K 71 2
                                    

Tak terasa Gesa disini sudah setengah tahun. Ia sangat senang bisa berbincang-bincang dengan tetangga. Mereka asik. Dan kabar baiknya. Neneknya akan kesini menjenguknya.

Gesa sangat bersemangat hari ini, sudah lama ia merindukan oeluka hangat dari wanita tua itu. Selama ini mereka hanya berbincang-bincang melalui benda pipih persegi panjang. Itu menyiksa baginya.

Hari ini semua orang pun memegang tugas-tugasnya. Liliana memasak yang dibantu dengan Gesa sedangkan Fano yang libur kerja, ia bertugas membersihkan rumah.

Berkali-kali Gesa mengerutu kesal lantaran tangan Fano yang usil. Contohnya saat ini, Gesa tengah memotong-motong kentang yang akan dijadikan bahan masakan, Fano berada dibelakangnya untuk mengejutkan gadis itu.

Berkali-kali juga Liliana menegur anak tunggalnya itu untuk tidak menganggu Gesa lagi namun, sebagai anak oertama yang tidak pernah punya adik, Fano merasa terhibur akan kehadiran Gesa. Kalau Gesa tidak sampai menangis, kejahilannya pun tak akan berhenti.

Beralih saat Gesa memotong bawang merah pun Fano masih terus menganggunya. Kali ini ia mengoleskan tepung terigu pada pipi gadis itu namun karena Gesa bergerak, jadi sasaran nya berubah ke bawah mata gadis itu.

"Aaa... Abang, jangan ganggu Gesa!" Gesa kesal karena terus diganggu cowok berkulit tan itu.

Tangan mungilnya bergerak menghapus tepung yang berada dibawah matanya akibat keusilan Fano tapi, ia lupa kalau tangannya habis dibuat memotong bawang merah.

"Aaa perihhh" teriak Gesa.

"Huahahahaha.." Fano tertawa melihat tingkah lucu gadis itu. Melompat-lompat sambil terus memegangi matanya yang sudah berair karena perih dari bawang merah.

"Fanooo!!" Tegur Liliana. Ia berusaha menolong anak perempuannya itu dengan diberikan air untuk membasuh matanya.

"Hiks... Hiks... Abang jahat, bunda liat tuh abang" adu Gesa pada Liliana setelah matanya agak membaik.

"Iya iyaa, abang minta maaf, nanti mau ke pasar malem lagi?" Bujuk Fano, berusaha mempertangungjawabkan kesalahannya.

"Enggak, Gesa gak mau liat Abang lagi" jawabnya.

"Yaudah, mau kue kronologi gak? Nanti abang beliin" bujuknya lagi.

Gesa menatap pemuda itu dengan tanda tanya diatas kepalanya.

"Itulho, anaknya bomboloni ma croissant, cucunya donat" jelas Fano.

"Cromboloni?" Ralat Gesa.

"Yoi, beli sesukamu, abang traktir"

Gesa mengehela nafas panjang, ada-ada aja abangnya tuh kasih nama.

"Mau yang lain juga"

"Iyaa, maafin abang yaa"

Gesa mengangguk "makan buah dulu yuk, untuk ngisi tenaga, nanti sambung lagi soalnya mereka tiba paling sorean nanti" ucap Liliana.

Mereka semua setuju. Lalu menuju ruang makan dan memakan buah segar yang sudah dipotong-potong.

>>>

Dikediaman Evan. Siang ini sangatlah sepi. Entah kedua cucu kembarnya itu pergi kemana, ia tak tau. Evan mengambil sebuah berkas yang dikirim oleh anak buahnya. Catatan berkas itu sangatlah penting karena ini menyangkut keadaan Gesa.

Ia mulai membaca isi berkas itu. Ternyata cucunya sangat bahagia tingal disana. Berbeda dengan keadaan cucu kembarnya ini. Mereka terlihat nampak kurus belakangan ini, terlebih lagi keadaan Gevi. Sudah seminggu lebih pemuda itu mengalami demam namun ia tetap kekeuh tidak akan istirahat sebelum menemukan Gesa-nya.

Gavi sejauh ini sehat walaupun badannya lumayan kurus, mungkin pemuda itu juga jarang olahraga. Evan curiga kalau setiap malam pemuda itu keluar lalu pulangnya pagi dengan bau alkohol yang menyengat. Berapa jalang yang sudah disewanya.

Evan kemudian beralih ke berkas lainnya. Isi berkas itu adalah informasi penyelidikan Gevi. Pemuda itu menelusuri setiap negara yang mungkin akan disingahi oleh kakaknya. Beberapa wilayah di Indonesia pun tak luput ia selidiki. Beruntunglah gadis itu masih aman, dan pergerakan dari Gevi belum mengarah atau mendekati wilayah persembunyian Gesa.

Evan khawatir. Bukan pada cucu perempuannya, melainkan pada Gevi. Effort pemuda itu tak main-main. Sudah setengah tahun pun dia tidak menyerah. Mempunyai dua tugas yang berat ini mungkin menyikasanya. Dimana satu sisi dia harus menjaga perusahaan agar tetap maju dan disisi satunya dia juga harus terus menyewa orang untuk mencari keberadaan kakaknya.

Ia bangkit menuju kamar istrinya. Mungkin wanita tercintanya itu masih bersiap karena dia akan mengunjungi Gesa saat ini.

"Jangan pake make up" ucap Evan yang melihat istrinya didepan kaca.

Bella berdecak kesal, sudah tua pun laki-laki itu sikapnya masih sama. Posesif.

"Kau tidak mengunjungi cucu perempuan mu?" Tanya Bella.

"Tidak, masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan" jawab Evan.

Bella melirik jam, pukul satu siang. Ia harus bergegas, karena ia sangat merindukan cucu cantiknya itu.

"Kau sudah mengecek mobil yang akan aku pakai? Aku tidak mau kalau ada pelacak atau sesuatu yang mengikutiku"

"Sudah. Aman, dan lima belas bodyguard juga akan mengawalmu"

"Pergerakan si kembar?"

"Mereka melacak diluar negara, wilayah Gesa sama sekali belum tersentuh"

"Bagus, jangan sampai mereka kembali mengusik cucu manisku lagi, aku serius Evan"

Suaminya pun mengangguk, ia kemudian mengecup pipi istrinya sayang.

Setelah rapi semuanya. Bella pun berangkat tanpa ditemani oleh suaminya. Kalau nanti tiba disana sore menjelang malam mungkin, ia akan menginap disana sampai pagi. Bella harap tidak ada yang mencurigakan dalam perjalanannya.

Sebelum berangkat pun, Evan tadi sudah mengecek wajah dari para bodyguard yang mendampingi istrinya. Mobil pun aman tidak ada tanda-tanda pelacak disana. Tetapi kenapa perasaan Bella tidak enak. Semoga saja cucu cantiknya itu tidak lagi kembali terjerat oleh monster kembar itu. Karena ia pun paham dengan perasaan cucunya.

>>>

"Jalankan samaranmu, kalau ketahuan atau kau ceroboh, aku akan membunuhmu"

"Baik tuan"

Orang itu menutup telfonnya sepihak. Ia tersenyum miring namun air matanya pun juga ikut keluar. Tangannya bergetar, jantungnya pun berdetak dengan cepat.

Namun tunggu sebentar. Ini masih belum selesai. Jika anak buahnya ceroboh, ia tidak akan segan-segan menebas kepalanya lalu memberikannya pada harimau putih peliharaannya.

Terdengar mengerikan? Ya memang. Kalau tidak seperti itu bisa rugi dirinya mengeluarkan banyak uang untuk menyewa orang itu. Kalau gagal, dia mati. Kalau berhasil, dia menjadi kaya.

Nyatanya, didunia ini selalu ada konsekuensinya.

Orang itupun bangkit dari tempat duduknya. Berkas-berkas yang menggunung kemarin sudah ia kerjakan semuanya. Menatap kejendela. Waktu masih menunjukan pukul setengah dua siang dan hari ini masih panas sekali.

Dirinya mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya dengan pematik. Asap rokok itu memenuhi ruangan ber'AC ini. Matanya tajamnya menatap ke atas dimana awan berkumpul, namun bukan awan itu yang ia lihat, melainkan sebuah wajah.

Wajah cantik yang ia rindukan, tersenyum kearahnya. Ia pun ikut tersenyum. Dengan bibir yang tiada henti-hentinya mengucapkan sebuah nama.

"Gesa.... Gesa... Gesa..."

.
.
Next...

The Twins 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang