tiga belas

2K 82 1
                                    

"Omaaa...." teriak Gesa. Pukul enam sore Bella baru saja sampai dan masih berada diambang pintu masuk, gadis itu berlari menghampirinya lalu memeluknya dengan sangat erat.

"Gesa kangen banget sama oma" ucapnya.

Bella membalas pelukan cucunya tak kalah erat.

"Nanti saja kangen-kangennya, kita makan dulu" ucap Liliana menyudahi.

Mereka pun mengangguk lalu menuju ruang makan. Para bodyguard pun berjaga diluar dan hanya dua yang ada didalam.

"Oma ini coba, ini aku yang masak lho khusus buat oma" ucap Gesa semangat.

Bella menerima ayam dari cucunya, memakannya lalu memuji masakan Gesa. Gesa yang mendengar komentar baik dari neneknya pun senang.

Meja makan ini terasa sangat ramai, walaupun cuma empat orang yang mengisi namun, dengan tawa dan suara lucu dari Gesa yang mengiringi makan malam mereka, suasana jadi menyenangkan. Tentunya keusilan Fano pun turut menghiasi moment hangat ini.

Gesa sangat bahagia bertemu neneknya kembali, ia sangat merindukan wanita tua itu. Ia juga berharap bisa menjenguk keadaan orangtuanya. Gesa sedih karena kata Bella, mereka masih belum ada perkembangan juga.

Selesai makan malam, mereka lanjut menonton tv bersama diruang keluarga. Sedari tadi, Gesa terus saja menempel pada neneknya. Bercerita tentang keseruannya tinggal disini. Bella pun menanggapinya dengan raut muka ceria.

"Nanti malem, oma tidur dengan Gesa yaa" pinta Gesa.

"Iya sayang..." Jawab Bella sambil mencubit kecil pucuk hidung gadis itu.

"Manja banget kamu" tegur Fano.

"Biarin, abang sebenernya mau meluk oma juga kan tapi gengsi soalnya abang udah gede" ucap Gesa.

"Kamu juga udah gede tapi masih kek bocil"

"Dih, kan emang didalem diri kita tuh sebenernya masih ada anak kecil"

"Kata siapa?"

"Kata tiktok"

"Tiktok mulu"

"Biarin"

Fano berhenti menanggapi. Ia berdiri dengan izin mau kekamar, tapi dirinya malah berbelok menuju halaman belakang.

Duduk dikursi taman lalu mengambil sebatang rokok untuk ia hisab. Entah kenapa pula dadanya sakit, terasa sesak. Sebenarnya dirinya bukan perokok aktif, entah kenapa pula hari ini berpikir untuk merokok saja disini. Lagian ibunya juga tidak akan marah. Liliana tak pernah melarangnya untuk tidak merokok atau merokok, itu terserah dirinya saja.

Lagi asik melamun, Fano melihat bayangan seseorang dari jauh. Sepertinya itu diluar pagar rumahnya, dan sepertinya itu laki-laki karena postur tubuhnya yang tingi dan juga kekar.

Fano terus memperhatikan gerak gerik bayangan itu. Terlihat seperti sedang berbicara melalui ponsel tapi sayangnya ia tidak bisa mendengar pembicaraan tersebut.

Fano pun acuh, itu mungkin bodyguard yang dibawa Bella kesini lalu memberi kabar pada suaminya wanita tua itu bahwa keadaan disini baik-baik saja.

Fano menyimpan rokok itu pada mulutnya dengan cara mengapitnya dengan bibirnya. Tangannya merogoh saku untuk mengambil ponsel, dapat dilihat banyak pesan dari temannya untuk mengajaknya keluar malam ini. Fano membalas pesan itu satu persatu dan mengatakan kalau hari ini tidak bisa.

Matanya beralih menatap pojok layar persegi panjang itu. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Tak terasa cepat sekali.

Setelah rokoknya habis. Ia kembali masuk kedalam rumah. Gadis manja itu sudah tidak lagi berada diruang keluarga, televisi pun sudah dalam keadaan mati. Pasti mereka semua sudah tertidur.

Karena tidak bisa tidur, dan ia merasa risih ada dua bodyguard yang terus mengawasi sekeliling di ambang pintu. Fano memilih pergi ke kamarnya lalu bermain ponsel disana sampai dia ketiduran.

>>>

Gevi berkutat dengan layar laptopnya. Matanya memerah dengan kantung mata yang parah. Sudah berhari-hari ia sama sekali tidak tidur. Berharap semua berkas-berkas sialan yang menumpuk ini segera lenyap dari pandangannya.

Kretek....

Bunyi nyaring yang dihasilkan dari jari-jarinya memenuhi ruangan ini. Jika melihat kearah jendela sudah dipastikan keadaan gelap yang menyelimuti karena ini sudah pukul dua pagi. Mungkin ada beberapa gedung yang lampunya dibiarkan menyala.

Ponselnya berdering dengan nama Evan yang tertera disana.

Gevi tak mengangkatnya. Dirinya masih sibuk mengurus berkas-berkas ini.

Setengah jam pun berlalu. Gevi menutup layar laptopnya. Mengambil tas hitam kemudian turun menuju lantai paling bawah dibangunan ini.

Setelah tiba dilantai satu. Ia menaiki mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya saat ini adalah rumah. Rumah kakeknya, dan juga kasur didalam kamarnya. Matanya benar-benar lelah.

Saat sampai dikamar dan selesai membersihkan diri pun lagi-lagi ponselnya berdering. Gevi melihat nama yang tertera. Senyumnya muncul lalu mengeser tombol hijau itu keatas.

"Siapkan rencananya, dua hari lagi kita berangkat" ucap Gevi. Ia kemudian mematikan panggilan itu sepihak lalu melanjutkan tidurnya. Ia rasa malam ini akan menjadi malam terindahnya, karena mungkin ia akan tidur dengan nyanyak? Atau malah tidak bisa tidur?.

>>>

Evan pun sampai pukul tiga belum juga tertidur. Ia memijat kepalanya melihat tingkah cucu paling terakhirnya ini pulang sambil mabuk dengan tubuhnya yang digendong tiga wanita jalang. Karena dilihat dari pakaiannya yang sangat minim juga ketat.

Tiga wanita itu ia suruh untuk mengangkat tubuh Gavi masuk kedalam kamarnya yang berada dilantai atas. Evan sama sekali tidak ikut membantu. Tentunya ia juga menyuruh salah satu bodyguardnya untuk membantu mereka.

Selesainya, Evan menyuruh tiga wanita jalang itu untuk pulang. Bau menyengat dari alkohol memenuhi kamar bocah ini. Seberapa tinggi yang cucunya ini minum sampai-sampai berjalan pun tidak bisa.

"Kakak... Gavi rindu payudara kakak... Hehe, vagina ini lembut sekali..." rancau Gavi tak jelas.

Ia memilih keluar dari sana lalu menutup pintu kamar itu dari luar. Ia membuka kamar Gevi yang berada di seberang kamar Gavi. Ternyata laki-laki itu sudah tidur setelah lelah mengerjakan berkas-berkas yang ia berikan. Mungkin ia akan membiarkan Gevi beristirahat dulu untuk besok, dan berkas-berkas lainnya ia akan serahkan pada Gavi. Namun berkas yang dulu saja tidak dikembalikan oleh bocah itu. Evan tidak terlalu mengharapkan Gavi juga, karena bocah itu sering mengulur-ulur waktu.

Sampai dilantai bawah, Evan mengambil air minum sambil menatap ponselnya. Istrinya aman didesa sana dan sudah bertemu cucu perempuannya. Ia tersenyum.

Evan pun mengecek keadaan sekitaran desa dari anak buahnya. Sama sekali tidak ada kecurigaan. Ia bernafas lega.

Barulah selesai minum, Evan berjalan menuju kamarnya untuk tidur. Dia pun sudah lelah. Siap-siap saja Gavi besok akan dikejutkan dengan berkas-berkas yang menggunung. Salah sendiri, tidak niat dalam bekerja. Mau tidak mau dia harus menyelesaikan semua berkas itu dengan benar.

Tak peduli kelelahan atau tidaknya. Karena Gevi pun sudah cukup dengan semua pekerjaan itu. Mungkin pewaris selanjutkan adalah anak itu sendiri, tanpa kembarannya.

Evan muak dengan cucu terakhirnya. Tingkah lakunya lebih buruk dari pada dirinya saat usia muda. Sampai menikah pun dia tidak akan tumbuh dewasa dengan pikiran seperti itu. Sangat prihatin.

Setelah menerawang nasib cucu kembarnya, Evan memejamkan matanya. Beberapa menit pun dia tertidur karena sudah mengantuk juga.

.
.
.
Next..

The Twins 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang