dua puluh tiga

1.7K 80 2
                                    

"Kapan kau akan bosan?" Tanya Gesa.

Gavi melengkungkan bibirnya kebawah. Telunjuknya ia letakan didagunya "never" ucapnya kemudian.

Gesa menatapnya dengan sangat tajam. Sudah tiga hari dia terkurung diruangan ini. Dan sudah tiga hari pula ia harus melayani nafsu binatang laki-laki itu.

Beberapa kali Gesa merasakan tidak enak pada perutnya. Pikirannya sudah marancau kemana-mana. Sering kali juga ia memukul-mukul perutnya sendiri sambil menangis. Otaknya sudah tidak bisa berpikir positif.

Karena terkadang sering merasa mual, Gesa takut. Takut jika diperutnya ada kehidupan. Ia sangat tidak rela jika itu adalah ulah Gavi. Jika pun ada, ia rela melakukan dosa besar dari pada harus menaruh dendam seumur hidup pada janin yang tidak bersalah itu.

Gavi menyisir rambut Gesa yang sangat kusut. Gadis itu sering kali melukai dirinya sendiri dengan cara menarik rambutnya kuat-kuat.

"Kakak kek gembel aja cantik, apalagi kalo udah nerima aku dari awal. Hidup sama aku, nikah sama aku. Pasti cantiknya kakak nambah" ucap Gavi.

Gesa hanya diam. Ia membiarkan Gavi melakukan apapun yang pria itu sukai.

"Kakak tau? Gevi udah deket banget ama rumah kita ini, paling gak lama soalnya nanti aku mau bunuh dia"

"Nanti aku kasih jantungnya ke kakak deh, ah enggak... Mata aja deh biar dia bisa liat main kita di ranjang"

Bulu kuduk Gesa dibuat berdiri oleh ocehan laki-laki itu. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal yang sangat mengerikan itu dengan mudahnya. Gesa tau itu bukan candaan. Dari dulu, Gavi selalu serius dengan ucapannya.

Tangan Gesa terulur meraih tangan Gavi yang masih menyisir rambutnya. Dia tidak nyaman. Ia sedikit menarik Gavi agar duduk didepannya.

Gavi menyatukan alisnya. Tapi ia menurut saja apa yang kakaknya itu lakukan "kenapa?" Tanyanya.

Gesa menggeleng, rambutnya masih setengah kusut karena disisir oleh Gavi tadi. Mata Gavi melirik cincin yang ada dijari manis gadis itu. Menarik cincin itu dengan kasar lalu membuangnya.

Gesa agak tersentak. Jari manisnya sakit akibat ulah Gavi yang tiba-tiba.

"Kau sudah bersamaku selama tiga hari disini tapi kenapa kau masih memakai cincin busuk itu? Kau tidak menghargai keberadaan ku?" Tanya Gavi.

Gesa hanya diam, tak tahu harus menjawab apa.

Gavi menganggukkan kepalanya, lalu menoleh ke kanan, kemudian ia menatap gadis itu lagi.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Gavi membukanya lalu pergi, bergegas menuju ruangannya yang dipenuhi oleh komputer.

Ia melihat rekaman kamera pengawas. Seseorang terlihat berjalan sambil melihat-lihat keatas. Orang itu berpakaian serba hitam, lalu ketika melihat kamera pengawas yang dirinya pasang, orang itu menghancurkannya dengan tongkat besi yang dibawanya

Gavi beralih ke kamera lainnya, semuanya menampilkan layar gelap. Ia sangat yakin kalau semua kamera yang berlayar gelap itu sidah dihancurkan oleh mereka.

Yaa Gavi sudah menduga kalau saudara kembarnya itu dengan cepat menemukannya. Makanya ia juga sudah memasang beberapa jebakan untuk menjatuhkan bodyguard yang Gevi bawa.

Untungnya ada beberapa beruang serta harimau yang asli sudah berada dihutan ini. Waktu Gavi membawa Gesa pergi menjadi terulur. Ia masih mempunyai banyak waktu untuk pergi sejauh-jauhnya dari Gevi.

Niat awal sepertinya gagal, jika Gevi tidak bisa ia bunuh setidaknya Gesa berhasil  dibawa sejauh-jauhnya dari laki-laki itu.

Ia segera mengemasi barang-barangnya lalu menarik tangan Gesa menuju belakang rumah.

Namun langkahnya mendadak terhenti saat melihat seseorang yang sedikit lebih tinggi darinya, berdiri menghadapnya dengan tatapan mata yang tajam.

Gesa merasakan sakit pada pergelangan tangan kananya. Gavi meremasnya terlalu kuat.

"Berikan Gesa kepadaku" ucap Gevi dengan suara tegasnya.

"Pftt... Kau lupa? Ayolah, dulu kita sering berbagi bukan? Lalu kenapa sekarang kau malah egois?" Ucap Gavi.

"Sekarang dia adalah istriku"

"Hahaha.... Fuck.. dia bahkan saat ini tengah mengandung anakku" Gavi tertawa lalu menoleh menatap Gesa yang terkejut mendengar ucapannya. Air mata gadis itu jatuh. Jika ucapan laki-laki itu benar, maka ia harus membunuh janin ini bagaimana pun juga.

Gevi berlari kearah dua manusia yang berbeda kelamin itu. Mengarahkan pistolnya tepat di dahi Gavi.

Tawa Gavi sebelumnya hilang. Memudar saat melihat reaksi lucu saudara kembarnya itu.

"Aku tidak suka perubahan mu.... Jika dia tidak bisa menjadi milikku......" Gavi menjeda ucapannya karena ia perlahan mengangkat tangannya yang sudah memegang pistol, ke arah Gesa.

"Maka kau pun tidak bisa" lanjutnya.

Gesa melotot, dirinya sangat takut. Gevi pun sangat ragu akan menembak kepala Gavi. Jika ia menembak duluan, nanti Gesa juga akan kena dan mereka mati berdua. Enggak, Gevi akan gila jika Gesa pergi meninggalkannya.

Gavi tersenyum miring. Ia mengangkat kepalanya, bersikap menantang Gevi supaya mau menembaknya.

"Kenapa berhenti? Lanjutkan!" Ucapnya.

Otot pada leher Gevi menonjol keluar, laki-laki itu sangat marah. Saudara kembarnya ini sangat menguji kesabarannya.

Tangan Gevi perlahan turun. Ia tidak mempunyai pilihan. Gavi tersenyum. Ia menurunkan pistolnya yang ia arahkan pada Gesa tadi. Kemudian menggenggam erat tangan gadis itu.

Namun tak lama dirinya terjatuh ke depan, karena seseorang memukulnya dari arah belakang.

Gevi dengan cepat menarik pinggang Gesa kemudian memeluknya dengan sangat erat. Menenggelamkan kepala gadis itu didadanya lalu menutup telinga Gesa.

Dor.. dor.. dor...

Tiga tembakan melesat menembus tulang kepala Gavi bagian belakang.

Dor.. dor.. dor.. dor...

Tetapi karena belum puas, Gevi melesatkan beberapa tembakan lagi hingga membuat kepala Gavi hancur. Laki-laki itu pun meninggal dengan cepat.

"Good girl..." Bisik Gevi pada Gesa yang masih ia peluk dengan sangat erat.

Rupanya saat Gavi tidak menyadari pergerakannya. Diam-diam Gesa mengambil sebuah kayu yang berukuran lumayan besar lalu memukulnya tepat dileher bagian belakang Gavi.

Karena rumah ini pada bagian belakang terdapat kayu dengan berbagai ukuran. Gesa dengan berani tanpa diketahui oleh siapapun mengambil kayu tersebut.

Dirinya kesal dan benci oada Gavi. Selama ia tinggal bersama Gevi, laki-laki itu sangat berhati-hati jika berhubungan seksual. Buktinya selama itupun ia tidak merasakan mual ataupun berpikiran negatif pada perutnya.

Hidup selama tiga hari bersama Gavi terasa seperti bertahun-tahun. Laki-laki itu sangat pemarah dan kasar. Gesa tidak bisa tidak menangis satu jam saja. Apalagi tubuhnya sangat lemah lalu ditambah perlakuan dari laki-laki itu membuatnya semakin tersiksa.

Gevi menatap istrinya yang bergetar ketakutan. Isakan pun terdengar, ia mengendong tubuh kurus istrinya itu menuju mobil yang terparkir jauh dari lokasi rumah ini, setelah memerintahkan para bodyguardnya untuk mengurus jasat Gavi.

Sesampainya di mobil. Ia melihat tubuh penuh luka istrinya itu. Kulit putih mulus yang ia ikut merawatnya kini melepuh-lepuh entah karena apa. Hati Gevi teriris melihatnya.

Ia mengambil kotak P3K yang selalu ada di mobil ini. Sebelum mengobati luka istrinya, Gevi mengusap air mata gadis itu yang terus saja mengalir.

"It's okay baby.. I'm here" ucapnya menenangkan.

.
.
.
.

Next...

The Twins 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang