sebelas

1.5K 46 0
                                    

Gevi memejamkan matanya sejenak. Sudah seminggu ini ia menghabiskan seluruh tabungannya untuk membayar orang demi menemukan kakaknya tersayang.

Kepalanya serasa berputar tiada henti. Sakit, benar-benar sakit. Entah sudah berapa banyak orang yang ia sewa dan semoga semuanya membawakan hasil.

"Kau terlihat menyedihkan" Gavi menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat sodara kembarnya tiduran di kasur sambil memijat kepalanya.

Gevi hanya melirik kembarannya itu. Memutar bola matanya malas lalu pikirannya kembali membuat rencana gimana caranya menemukan kakaknya yang nakal itu.

Adik kembarnya itu sama sekali tidak membantu. Setiap kali ia butuh bantuan lelaki itu selalu menghilang. Dari pada berdepat lalu berujung baku hantam yang luar biasa, mending ia tidur untuk saat ini.

Gavi mau marah. Ini sudah sangat lama mereka kehilangan kakaknya. Tetapi ia juga terlalu malas untuk ikut membantu mencari gadis itu. Ia hanya ingin menikmati hasilnya saja sambil bermain kecil dengan para jalang.

Gavi menghembuskan nafasnya kasar lalu pergi dari kamar kembarannya. Ingin berbicara dengan sang kakek.

"Beritahu Gavi saja opa, aku cucu kesayanganmu kan? Tidak mungkin juga kakak kabur tanpa dibantu orang dalam" ucapnya langsung ke inti pada pria tua yang tengah menikmati secangkir kopi disofa.

Pria tua itu melirik pemuda dihadapannya sekilas, lalu kembali meminum kopinya lagi.

"Atas dasar apa kau menuduh kakekmu ini? Kau juga sama sekali tidak berusaha mencari keberadaan cucu perempuan ku"

"Ayolah opa, aku punya feeling kuat kalau opa juga pelaku pembantuan kakak" Gavi tersenyum miring dengan alis terangkat sebelah.

Yaa sejak kakaknya hilang, orang pertama kali yang ia tuduh adalah kakeknya ini. Pria tua itu sudah sangat lama tidak menghubungi dirinya maupun kembarannya, anehnya saat pertama kali menghubungi kembali gelagatnya sangat mencurigakan dan bodohnya lagi ia malah menuruti permintaan kakeknya itu.

Sekarang konsekuensi berat ini yang Gavi tangung. Kakaknya hilang sudah seminggu dan sama sekali belum menemukan titik terang.

Evan berdiri dari duduknya. Hari ini dirinya libur, jadi ia akan berduaan dengan Bella, istri tercintanya.

Gavi tersenyum miring. Ia kesal. Membanting seluruh benda yang ada diruangan ini. Mengamuk sejadi-jadinya lalu pergi menaiki mobil entah kemana.

Evan ternyata masih disana. Berdiri di tangga sambil memperhatikan cucu terakhirnya tantrum. Sejauh ini ia hanya melihat Gevilah yang berusaha keras menemukan cucu perempuannya itu. Itupun sudah membuktikan kalau pemuda itu begitu tulus mencintai kakaknya. Pemuda itu rela melakukan apasaja asalkan pujaan hatinya kembali namun dia juga tidak membiarkan pekerjaan kantor menumpuk.

Gevi sangat pintar membagi waktu, namun tidak untuk waktu istirahatnya. Saking semangatnya bekerja dia sampai lupa kesehatan badannya sendiri.

Sedangkan Gavi. Laki-laki itu tidak melakukan apapun selain marah-marah tidak jelas seperti tadi. Evan rasa, dia tidak pantas mendapatkan kakaknya kembali meskipun ia menemukan gadis itu dengan bantuan orang-orang sewaannya.

>>>

Gesa sore ini tengah bersenda gurau dengan para tetangga. Ada saja hal-hal yang mereka gosipkan. Terkadang juga pipi Gesa bersemu merah karena terlalu sering dipuji cantik.

Barulah para tetangga itu pulang saat waktu menunjukan pukul lima sore. Gesa senang, mereka sangat pandai bersosialisasi, yaa namanya juga ibu-ibu.

"Nak, kamu bisa bantu bunda nganter bekal ini ke Fano,  bunda lagi sibuk dan belum mandi juga" liliana datang dengan kotak persegi panjang yang dibungkus kain warna coklat tua ditangannya.

"Okee bunda" Gesa menerima kotak bekal itu dengan senyuman.

Bengkel abangnya pun tidak jauh dari sini, dan mungkin ia akan berjalan kaki saja sambil menikmati pemandangan sawah disore hari.

"Bawa sepeda aja yaa, biar lebih cepet" okee, dia akan menuruti perintah bundanya, untuk menikmati pemandangan? Lain kali saja. Toh ia juga akan tinggal disini lebih lama kan? Emmmm..... Semoga saja.

Gesa mengayuh sepeda warna putih ini pelan setelah meletakan kotak bekal itu diranjang depan. Ia juga sesekali tersenyum kepada penduduk desa yang tidak sengaja berpapasan dengannya.

Kerja dibengkel membuat Liliana sering khawatir pada anak tunggalnya itu. Sudah jarang makan, Fano juga terlalu bandel jadi anak. Pemuda itu pekerja keras namun melupakan kesehatan badannya.

Gesa memarkirkan sepedanya lalu memasuki bengkel untuk mencari keberadaan Fano. Pria itu tengah memperbaiki mobil.

"Pft..." Gesa menahan tawanya saat melihat wajah Fano yang penuh dengan coretan hitam. Apa itu oli? Atau semacamnya? Gesa tidak tau.

"Kalo kesini untuk ngetawain aku mending kamu pulang aja"ucap Fano ngusir. Ia malu.

"Enggak-enggak, bunda nyuruh aku nganter bekal ini untuk abang"

Fano menerima kotak bekal itu, lalu kembali menyuruh Gesa pergi lagi.

"Abang pulang jam berapa?"

"Jam sembilan, soalnya ini bengkel kampung, kamu nanti berani pulang sendiri?"

"Berani, deket lagian"

Tangan Gesa bergerak untuk mengusap noda pada wajah tampan Fano. Dengan tatapan polosnya, Gesa tidak menyadari perasaan Fano yang tidak karuan. Jantung pemuda itu memompa darah dengan sangat cepat.

"Abang kalo kerja dibengkel selalu kek gini?" Tanya Gesa.

Fano menunduk, hal itu membuat aktivitas Gesa terhenti. Bukan karena apa, tapi wajah pemuda itu sekarang memerah. Walaupun tidak nampak dengan jelas karena dia yang memiliki kulit tan.

"Ehemm... Yaa, namanya juga bengkel. Selalu berhubungan dengan oli dan mesin" jelas Fano. Ia berdehem untuk mengetes suaranya, bisa malu kalau suaranya terdengar kecil karena perlakuan Gesa tadi.

Gesa mengangguk mengiyakan. Ia mulai memperhatikan sekitar. Bengkel ini lumayan besar. Ada beberapa alat yang Gesa tak tau fungsinya. Matanya menangkap seseorang yang masih memperbaiki sepeda motor.

Fano tak tau ada apa dengan dirinya. Kenapa saat ia diberi perhatian kecil saja oleh Gesa, jantungnya selalu  jedag jedug didalam. Ia mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya.

Gesa berbalik, ingin berpamitan pada Fano. Dirinya akan pulang saat ini karena tidak mau menganggu pekerjaan orang. Ia juga berpesan pada Fano untuk tidak lupa memakan bekal yang ia bawa.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Hari pun perlahan gelap. Gesa tetap mengayuh sepeda putihnya dijalanan yang pinggir-pinggir nya sawah. Ia juga selalu berdoa dalam hati supaya tidak melihat penampakan atau urban legend desa ini.

Sepanjang perjalanan hanya diiringi suara nafas Gesa dan juga suara katak atau jangkrik. Beruntungnya sepeda ini dilengkapi dengan lampu, dan itu masih aktif walaupun warnanya kuning.

Barulah saat sampai rumah, Gesa merasa lega. Ia bergegas untuk masuk kedalam rumah yang hangat itu.

.
.
.
.
Next....

The Twins 2 (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang