Part 7

9.3K 789 26
                                    

Tabitha terbangun ketika waktu telah menunjukkan pukul 8 malam. Dirinya terus menggerutu kenapa jadi berantakan semua rencananya agar dapat ujian semuanya di hari ini.

Selesai menggerutu, Tabitha menelisik ke seluruh penjuru ruangan dan ternyata ada seseorang yang tertidur di sofa dengan tangan yang terlipat di dada. Tabitha menyipitkan matanya untuk melihat jelas karena ruangan yang begitu temaram.

'Steven?' Alis Tabitha menyatu bingung, bagaimana bisa Steven berada di ruang rawat inapnya. Ketika nama Diaz terlintas di otaknya, barulah Tabitha menyadari, pastilah Diaz yang membuat Steven berada disini. Tapi pertanyaannya sekarang, lantas, dimanakah Diaz?

"Zee?" Panggil Tabitha dalam hatinya.

"Ya, nona? Bagaimana rasanya mudah sakit, nona?"

Tabitha memutarkan bola matanya malas. Kesal juga dengan sindiran sistem 0.2 padanya. "Jangan nyindir gue ya! Ck! Bukan itu yang penting sekarang. Kenapa salah satu figuran, si Steven itu, ada disini?"

"Itu karena figuran Diaz sedang mencari makan dan meminta figuran Steven untuk menjaga nona."

Tabitha, "ohhh oke oke."

CEKLEK

"Eh lo udah bangun?"

Suara pintu dan susulan suara seorang pemuda, mengalihkan perhatian Tabitha pada pintu masuk. Terlihat Diaz melangkah mendekat dengan kantong dustbag yang diyakini berisi makanan dan cemilan.

Tabitha membalas dengan anggukan kecil. "Thanks, pasti lo sama temen lo yang udah bawa gue kesini, kan? Sorry repotin."

Diaz mengangguk. "Ya emang repotin tapi tugas gue juga sebagai PMR. Lagipula ini semua dibayarin pihak sekolah."

Tabitha melirik kearah Steven. "Bangunin tu si Steven, pasti sakit badan kalau tidur kaya gitu. Kalian pulang aja, gue udah gak apa-apa."

"Lo kira kita sebaik ini karena lagi baik hati, gitu? Kita disini juga karena emang males aja di rumah." Celetuk Diaz sembari mulai membongkar bawaannya.

Merasa tak ada tanggapan dari Tabitha, Diaz menoleh ke arah ranjang dan mendapati Tabitha tengah melamun sembari menatap kaca jendela yang menampilkan pemandangan kerlap kerlip kota malam.

Diaz salah paham dengan menganggap Tabitha tengah bersedih karena keluarganya tak ada yang datang padahal Tabitha tengah fokus memikirkan cara cepat untuk ujian tanpa harus berpapasan dengan tokoh utama yang tak lain mantan kekasih dan mantan saudari tirinya.

"Lo mikirin keluarga lo?" tanya Diaz untuk menyudahi keheningan yang terjadi.

Tabitha langsung memalingkan wajahnya untuk menatap Diaz. "Apa?" Tidak begitu mendengar pertanyaan Diaz, Tabitha memilih bertanya.

Diaz meraih salah satu kotak bento lalu duduk di kursi yang berada tepat di sisi ranjang. "Lo, kangen keluarga lo kah? Atau bertanya-tanya kenapa mereka gak kesini? Itu karena emang gue gak kasih tau."

Tabitha langsung mendatarkan ekspresinya, lalu berdecih, "gue? Kangen mereka? Mikiran mereka aja enggak. Karena lo belom tau, gue kasih tau lo ya, gue udah bukan bagian dari keluarga Hartigan lagi, jadi stop bawa-bawa ataupun nyangkut pautin gue sama mereka."

Diaz terkekeh sinis. "Lo ngomong gitu palingan cuma karena lo marah doang. Nanti juga lo pengen perhatian mereka lagi terutama mantan pacar yang nyelingkuhin lo itu." Bukan sekali dua kali, Diaz menatap miris masa lalu Tabitha yang berusaha menarik perhatian para kakaknya dan mantan pacarnya, namun selalu nihil karena mereka ilfeel lebih dulu dengan wajah buruk rupa Tabitha kala itu.

Dengan kesal, Tabitha meraih ponselnya dan membuka gallery foto. Kebetulan dirinya memotret dokumen yang berisikan Kartu Keluarga baru yang hanya berisikan dirinya seorang. Disana bahkan hanya tertulis nama 'Tabitha Eira' tanpa ada marga Hartigan disana.

Memang setelah Tabitha resmi keluar dari rumah keluarga Hartigan. Tabitha langsung meminta 0.2 untuk membuatkannya kartu identitas baru dengan tanpa marga Hartigan di dalamnya. Dan karena kartu identitas harus selaras dengan kartu keluarga, maka 0.2 juga membuatkan kartu keluarga baru. Perihal kartu keluarga yang berada di kediaman Hartigan tidak perlu dikhawatirkan, karena sejak mengangkat Ririn menjadi bagian mereka, di kartu keluarga mereka bahkan sudah mendepak nama Tabitha karena semalu itu mengakui Tabitha sebagai salah satu bagian dari Hartigan.

Tabitha menyimpan dokumen itu dalam bentuk dokumen dan foto juga, siapa tahu diperlukan dan ternyata saat ini dirinya tunjukkan pada Diaz.

Diaz sendiri terkejut karena ternyata ucapan Tabitha tidak bohong. Dirinya terus-terusan bergantian menatap ponsel di genggamannya dan Tabitha, berulang kali. Hingga ponsel tersebut direbut oleh Steven yang baru terbangun dan bingung dengan tingkah Diaz menatap Tabitha dan ponsel tersebut bergantian.

"Wow." Steven sendiri terkejut ketika mendapati foto kartu keluarga Tabitha. "Jadi, lo dipecat dari keluarga Hartigan?" tanya Steven dengan polosnya.

Tabitha mendelik, "gue yang mengeluarkan diri, bukan mereka yang usir." Bohong Tabitha. Bagaimanapun dirinya duluan yang di depak dari kartu keluarga Hartigan. Hanya saja gengsi untuk mengakui.

"Lagian buat apa gue tetep bertahan sama mereka ketika eksistensi gue aja dianggap gaib karena mereka malu." Lirih Tabitha memikirkan kisah Tabitha aslinya.

Diaz dan Steven langsung terdiam, merasa tidak enak hati seketika.

Melihat keterdiaman Diaz dan Steven, Tabitha langsung berdeham, mencairkan suasana. "Santai aja elah, tu makan dulu sana, keburu dingin. Lo ga ada beliin buat gue gitu, az?"

Diaz pun menetralkan wajahnya yang sempat berpikir rumit menjadi normal. "Ada kok, lagian lo cuma flu jadi makan bento beginian mah cincay. Noh disana ambil aja."

"Lo gak liat apa tangan gue di infus, baek nya tanggung amat sih. Steve, tolongin gue dong, bukain sama tuangin saos mayonese nya juga." pinta Tabitha menatap Steven dengan wajah memelasnya.

Steven menghela nafas. Meletakkan ponsel Tabitha di nakas terlebih dahulu sebelum mengikuti permintaan Tabitha.

"Hah~ untung yang diinfus tangan kiri, jadi kan gue bisa megang sumpit." Bangga Tabitha ketika tangannya masih berfungsi dengan baik sehingga tidak memerlukan bantuan suapan dari dua makhluk ketus di depannya. Lalu segera melahapnya karena lapar.

Mereka makan dalam hening dan ketika selesai. Pintu ruangan diketuk, dokter jaga dan beberapa suster ternyata yang masuk untuk mengecek keadaan Tabitha.

"Kondisi kamu setelah di infus sudah membaik. Tubuh kamu ini rentan sakit, jadi usahakan mulai berolahraga dan menjaga pola makan ya. Selalu antisipasi pada cuaca yang berlebihan misal terlalu panas maupun terlalu dingin. Saya akan meresepkan beberapa vitamin untuk membantu daya tahan tubuh kamu juga agar stabil. Karena ini sudah malam, jadi saya jadwalkan besok siang kamu sudah boleh pulang." Ujar sang dokter panjang lebar.

Tabitha mengangguk saja. "Terimakasih, dok."

Sepeninggalan dokter dan para suster. Diaz membuka suara kembali. "Lo tinggal dimana kalau bukan lagi di rumah Hartigan?"

"Kenapa? Khawatir lo?" ledek Tabitha dengan tatapan julidnya.

Diaz berdecak gemas. "Cuma nanya buat mempertimbangkan lo perlu gue kasih utang apa engga. Secara kan pasti lo gak dikasih pesangon sama keluarga Hartigan, kan?"

PLETAK

"Pesangon. Udah kaya di jalur pekerjaan aja." Gemas Steven hingga tangannya gatal menyentil kening Diaz dengan keras.

"Ck! Lo gatau apa sentilan lo itu mengandung tenaga dalam? Sakit gilaaa!" keluh Diaz.

Tabitha tertawa dengan kekonyolan dua pemuda yang katanya acuh tak acuh dan dingin itu. Nyatanya mereka itu bobrok dimata Tabitha.

Alunan tawa itu langsung mengalihkan atensi Steven dan Diaz. Mereka jatuh dalam pesona Tabitha.

"Lo operasi plastik dimana sebenernya?"



To Be Continue

***

Next?

New Me : 0.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang