Tabitha kini tengah mematut tubuhnya di depan cermin besar di kamar Apartmentnya. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan ospek.
Senyum pucat namun begitu manis dirinya terbitkan. Meraih sweater berwarna jingga untuk dikenakan karena kondisi tubuhnya yang tak dapat menahan dingin.
Setelah lama pemulihan, bahkan tidak mengikuti acara perpisahan SMA nya. Tabitha fokus untuk merawat diri agar tubuhnya sedikit lebih sehat meski sulit karena kondisi organ dalam yang tak sempurna.
Waktu yang berlalu pun membuat Tabitha semakin dekat dengan Diaz dan Steven. Untuk Reygan sendiri, mereka jarang berjumpa karena kesibukan Reygan di Universitas dan mulai berkecimpung di kerajaan bisnis ayahnya. Tabitha pun tak terlalu memusingkan itu.
"Semangat! Hari ini pasti bisa gue laluin dengan baik. Ya kan, Zee?" Tabitha meraih liptint agar bibir pucatnya tidak tampak.
"Ya nona. Tetaplah bersama figuran Diaz dan Steven agar mereka dapat menjaga anda secara langsung maupun tak langsung."
Senyum Tabitha sedikit memudar, sebelum kembali seperti semula. "Lo tahu kalau dari hidup gue dulu, gue gak pernah mau jadi beban orang. Mereka selama ini baek dan anggep gue keluarga mereka sendiri, gue udah bersyukur. Gue gak mau jadi beban yang lain."
Sistem 0.2 hanya diam karena memang Tabitha tidak tahu bahwa sesungguhnya Diaz dan Steven telah mengetahui kondisinya.
Bel Apartment Tabitha berbunyi sehingga dengan segera Tabitha meraih tas dan ponselnya, lalu bergegas pergi.
Tabitha membuka pintu dan terlihat Steven yang tengah memainkan ponselnya. "Diaz nunggu di bawah sekalian beli sarapan di Café lobby. Lo belom sarapan kan pasti?"
Tabitha tersenyum lebar. Ketika pintu terkunci, dengan cepat meraih lengan Steven untuk di rangkul.
Sejak kedekatan mereka. Tabitha tidak malu untuk bersikap manja pada Steven maupun Diaz, dalam batas wajar tentunya.
"Tau an aja sih. Adek siapa sih ini?" Tabitha mencolek lengan kokoh Steven.
Steven mendengus. "Lo adek gue, bukan sebaliknya."
Tabitha, "Gak nyadar usia, dasar."
Selalu saja berdebat hal yang sama karena Diaz dan Steven menganggap Tabitha adik mereka sedangkan Tabitha sebaliknya karena memang usia Tabitha yang lebih tua.
Dan mengenai Diaz dan Steven yang memilih akselerasi, mulanya Tabitha terkejut terlebih kedua laki-laki itu berkata jujur perihal ingin menjaga Tabitha. Hanya saja Tabitha menyalah artikannya bahwa Diaz dan Steven ingin menjaganya dalam konotasi ke posesifan seorang saudara, bukan karena dirinya sakit.
Senyum yang terukir di bibir Tabitha tak pernah luntur belakangan ini. meski dirinya harus beberapa kali merasa sakit ataupun lemas hanya untuk sedikit pekerjaan rumah. Namun, mendapati perhatian Diaz dan Steven, membuat Tabitha cukup bersemangat menjalani harinya. Tabitha diperlakukan seperti adik kecil oleh seorang kakak. Dan rasanya begitu nyaman dan hangat di hatinya.
Kepala Tabitha bersandar di bahu kokoh Steven dengan tangannya yang masih merangkul lengan kekar itu.
Seketika Steven menoleh, menelisik wajah Tabitha untuk memastikan bahwa tidak ada hal buruk terjadi. Steven dan Diaz sangat tahu hal apa saja yang boleh dan tidak boleh Tabitha lakukan maupun konsumsi. Oleh sebab itu dirinya menjaga ketat Tabitha.
Pada awal mereka makan bersama. Steven dan Diaz pura-pura tidak tahu mengapa Tabitha memilih menu sehat dan bertanya. Dan jawaban Tabitha adalah karena perempuan perlu menjaga berat badan.
Sejujurnya Steven dan Diaz ingin sekali menjewer telinga Tabitha karena bertingkah sok tegar di depan mereka. Tapi mereka hanya dapat menahan diri agar Tabitha nyaman dan berlaku seolah mereka mendukung rutinitas 'diet' tersebut.
"Kenapa lo?" Meski terdengar dingin tapi Tabitha tahu bahwa Steven peduli padanya.
Tabitha mendongak menatap Steven. "Gak papa kok, Cuma tadi bangunnya terlalu buru-buru jadi kayanya darah rendah gitu. Agak keleyengan. Hehehe" Beginilah Tabitha sekarang, hanya berjalan sedikit, kepalanya langsung pusing namun dirinya selalu menahannya hingga kini seperti rasa pusing itu telah menjadi makanan sehari-hari nya.
Steven menghela nafas. "Makanya jadi orang jangan males. Gak pernah gerak sih jadi sekalinya gerak kaya gempa bumi." Steven mengikuti alur sandiwara Tabitha. "Mau gue gendong?"
"Berasa bocah. Lagian tinggal tunggu lift dan turun, udah deh duduk adem di mobil." Kekeh Tabitha yang sudah tidak aneh bila mendapati tawaran gendongan dari Steven dan Diaz. "Siapapun yang jadi adek lo dan Diaz, pasti bahagia banget karena punya kakak yang begitu care ya. Hah~ beruntungnya gue karena jadi salah satu orang yang beruntung itu. Thanks ya. Karena kalian, gue gak ngerasa sendirian." Senyum tulus terpatri di bibir Tabitha.
Meski pucat dan mulai mengurus, kecantikan dan pesona Tabitha selalu terpancar. Bahkan semakin dirinya seperti ini, semakin banyak yang bersedia melindunginya. Steven yakin itu.
"Ck bosan denger lo ngomong sama mulu. Gak ada yang lain apa?" dumal Steven.
Tabitha, "gue cuma menyampaikan rasa syukur yang gue rasain tiap hari ini. Kalo tahu gue bakal punya lo sama Diaz, udah dari lama gue milih keluar dari keluarga Hartigan biar cepet ngerasain kebahagiaan kaya gini."
Kali ini Steven tak menjawab dan memilih memasuki lift yang telah terbuka. Semakin mengenal Tabitha, semakin Steven dan Diaz tahu, seberapa rapuh sosok Tabitha sebenarnya.
Keduanya heran mengapa bisa keluarga Hartigan bersikap begitu keji pada sosok baik seperti Tabitha.
Ketika tiba di lantai lobby, keduanya langsung disambut sosok Diaz yang berdecak dengan membawa dua paperbag berbeda warna. "Lama banget sih. Itu napa lagi pake gelendotan ke Steven?"
Tabitha terkekeh, "pengen aja. Kaya keren bisa gelayutan di kulkas macam Steven. Kebanggaan tersendiri loh yang bisa dipamerin."
Steven dan Diaz hanya menggeleng saja dengan jawaban asal Tabitha.
Ketiganya langsung menuju mobil yang terparkir di lobby. Beruntung hanya sebentar karena bila lama, pastilah sudah di usir oleh satpam lobby.
"Punya lo yang ada di paperbag warna putih. Pokoknya dijamin aman buat orang diet kaya lo." Celetuk Diaz ketika ketiganya telah duduk di dalam mobil dengan Diaz sebagai pengendara, Steven disebelahnya, dan Tabitha di kursi penumpang. "Makan sekarang kalau udah di kampus, takutnya gak boleh makan karena ospek."
Tanpa membantah, Tabitha langsung membuka paperbag berwarna putih. Terdapat sebuah susu dan sandwich gandum dengan isian sayur dan daging. Sesungguhnya Tabitha ingin protes karena tak ada saus sambal maupun mayonesse, tapi mengingat kondisi tubuhnya sekarang, Tabitha hanya mampu menelan keinginannya, bulat-bulat. Tabitha harus bersyukur karena masih dapat makanan yang layak dan bergizi.
Mencoba bersenang hati, Tabitha memakannya dengan lahap. "Bosan juga makan makanan gak berasa kaya begini. Tapi gue harus ikhlas karena ini pilihan gue sendiri. Ya kan, Zee?"
"Benar nona. Segala keputusan nona, memiliki resikonya sendiri. Semangat nona!"
Tabitha tidak menyesal dengan keputusannya hanya terkadang kesal karena tidak dapat menyantap makanan yang dirinya inginkan. Kecintaannya pada makanan itu lah yang membuatnya sulit.
Perihal dirinya yang tak bisa melakukan aktivitas berat. Anggap saja dirinya tengah dalam mode pemalas tingkat angkut. Itu tidak terlalu membebaninya. Justru bersyukur karena kapan lagi bisa bermalas ria tapi uang tetap mengalir.
Ya, setidaknya itulah alasan penghiburan bagi dirinya sendiri.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
New Me : 0.2
FantasySuara Tabitha terdengar kembali, "lihatlah, saya meninggalkan semuanya disini, saya tidak membawa uang sepersenpun milik kalian, saya hanya meminta pakaian yang melekat pada saya sekarang, nyonya Hartigan dapat mengecek dalaman saya bila khawatir sa...