Part 16

8K 749 51
                                    

"Lo udah berhasil dapet kabar, dimana Bitha sekarang?" sesosok lelaki dengan baju seragam yang dikeluarkan sembari menyesap nikotin, menatap sosok berkacamata di depannya.

Mereka tak lain adalah Diaz dan Steven.

Diaz memang kerap merokok bila merasa dirinya terlalu banyak pikiran dan sejak menganggap Tabitha adalah saudaranya sendiri. Diaz tak berhenti merasa cemas akan keadaan Tabitha yang menghilang tiba-tiba setelah ujian berakhir.

Steven melepaskan kacamatanya, hanya untuk memijat pelipisnya yang berdenyut. Sudah dua hari dirinya kurang tidur karena berusaha mencari keberadaan Tabitha. Diaz yang seorang anggota OSIS, tidak leluasa pergi sehingga dirinya lah yang bolak-balik mencari. Dari ke kediaman Hartigan, tempat kesukaan Tabitha yang diketahui dari beberapa pelayan di kediaman Hartigan, apartmentnya, bahkan rumah sakit dimana sahabat Tabitha dirawat, tapi tak satupun Steven menemukan keberadaannya.

Melihat reaksi Steven, Diaz jelas paham maksudnya. "Sebenernya lo cari gimana? Bukannya lo pinter hack ya? Kenapa lo ga ikutin pergerakkan terakhir dia yang pergi sama kak Alex terakhir kali?"

Mata Steven seketika membulat dan menepuk jidatnya dengan kuat. "Astaga! Gue lupa gue bisa hack. Gue malah impulsive datengin semua tempat secara langsung saking paniknya."

Diaz yang kesal langsung melepas sepatunya dan melemparnya ke arah kepala Steven. "Lo tuh ya! Begonya bisa di tunda dulu gak sih? Ini tu beneran genting bege!"

Steven menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

Andai saja semua orang tahu bahwa sesungguhnya Steven memiliki sisi teledor, mungkin pandangan mereka yang menganggap Steven begitu mengerikan, akan berubah.

Dan yang mengetahui itu, memang hanya Diaz seorang.

"Iya iya sorry. Nih, gue langsung cari." Steven langsung membuka tas untuk mengeluarkan laptopnya dan mulai fokus untuk men tracking setiap pergerakan. Dimulai dari parkiran, dimana Tabitha dan Alexander pergi. Lalu Steven melacak tujuan mereka melalui plat mobil Alexander yang ternyata menuju Rumah Sakit.

Steven mempercepat rekaman jejak CCTV yang berada di area parkiran Rumah Sakit, memastikan bahwa Alexander dan Tabitha pulang kala itu. Dan benar saja, Alexander mengantarkan Tabitha pulang.

PLETAK

Pukulan di punggung, Steven terima dari Diaz. "Apaan lagi sih? Ini kan gue lagi cari."

Kali ini Diaz yang tertawa kering. "Gue baru inget, mending lu cari mulai tanggal sepuluh. Soalnya setelah dari si Bitha pergi ma kak Alex kan besoknya Bitha masih sekolah. Dia mulai ngilang pas setelah ujian. Berarti itu tanggal sepuluh."

Kali ini Steven yang melepas sepatunya dan memukulnya langsung ke belakang kepala Diaz. "Sok-sok an ngatain orang bego, lo sendiri otak lemot. Kan jadi sama-sama buang waktu."

Diaz, "yaudah lah sesama orang lemot jangan menghakimi. Oke sekarang cari lagi."

Steven hanya mendengus dan kembali mengotak-atik laptopnya.

Selang dua jam, bahkan Diaz sampai tertidur karena bosan. Terlebih suasana di Rooftop sekolah memang berangin sejuk, semakin mendukung Diaz untuk terlelap.

Seketika riak wajah Steven berubah ketika mulai mengetahui dimana Tabitha berada. Dengan cepat Steven mematikan laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Az, bangun sekarang!" Sentak Steven dengan raut wajah yang kini dalam mode dingin.

Diaz yang mendengar suara keras Steven, langsung saja terbangun. Melihat ekspresi sang sahabat, Diaz tanpa bertanya langsung mengambil tas nya dan mengikuti Steven yang pasti sudah mengetahui dimana Tabitha saat ini.

Meski pikirannya berkecamuk perihal apa yang ditemukan Steven hingga tiba-tiba mengeluarkan ekspresi dingin tak tersentuhnya. Namun yang pasti, pastilah itu bukan hal baik dan Diaz semakin terusik.

Steven memasukki mobilnya dan Diaz dengan cepat ikut masuk karena memang tak membawa kendaraan hari ini. Sengaja memanggil Steven ke sekolah meski kelas sebelas masihlah libur. Itu memang sengaja untuk membahas Tabitha.

Belasan menit berlalu dengan Diaz yang menunggu Steven lebih dulu buka suara. Tapi hingga mobil berhenti di parkiran Rumah Sakit, Steven masih enggan membuka mulutnya.

Diaz hanya mengikuti Steven tanpa banyak bersuara karena aura Steven sedang dalam mode tak dapat diganggu.

Meski keduanya bersahabat dekat namun Diaz tetap menerima segala sifat buruk Steven begitupun dengan Steven. Itu pula mengapa keduanya saling tahu harus bagaimana bersikap ketika sifat buruk salah satunya sedang mendominasi.

Jujur saja, Diaz semakin merasa tak nyaman ketika kini Steven memasukki area ruang ICU dan dengan kasar membuka salah satu ruangan yang kebetulan tak ada seorangpun yang menunggu.

Diaz yang panik, takut Steven salah masuk ruangan dan membuat keributan, langsung dibuat membeku ketika melihat sosok yang terbujur lemah di brankar dengan banyak alat menempel di tubuhnya.

Dengan kaku, Diaz mendekat untuk benar-benar meyakinkan matanya, sekaligus berharap bahwa penglihatannya salah.

"Ni anak bosen idup kayanya." Celetuk Steven dengan kedua tangan yang mengepal.

Diaz langsung menoleh, kali ini ekspresi Diaz pun sama-sama datar dan dingin. "Sekarang lo bisa jelasin?"

Steven mengusap wajahnya kasar dan mulai membeberkan apa yang dirinya lihat dan dengar dari rekaman CCTV Rumah Sakit yang dirinya hack.

Seketika rahang Diaz mengetat dengan tangan mengepal sempurna.

Ya! Tabitha memang seperti mencari kematian.

Namun mengingat kehidupan Tabitha sebelumnya, kepalan tangan Diaz mengendur dan justru menampilkan sorot mata sendu, memandang tubuh lemah dan pucat milik Tabitha.

Melangkah mendekati brankar, tangan Diaz terulur mengusap kepala Tabitha. "Hidup lo berat banget ya sampe lo ikhlas kalo lo mati? Gue ngerti kalo cuma Lexa satu-satunya temen yang lo punya. Tapi kan sekarang lo punya gue sama Steve. Kenapa lo sampe senekad ini?"

Hening. Hanya suara mesin yang menyauti pertanyaan Diaz.

Diaz sendiri memejamkan mata dan menghirup nafas dalam sebelum mendudukkan dirinya di pinggir brankar tanpa menyentuh banyak alat yang terpasang. Menatap wajah pucat yang bernafas menggunakan bantuan oksigen itu. "Steve."

Steven yang memang berdiri bersedekap dada di kaki brankar, menatap rumit Tabitha. Kini melirik ke arah Diaz yang duduk memunggunginya. "Apa?"

Diaz, "gue udah ambil keputusan. Gue bakal ambil ujian akselerasi biar bisa masuk ke angkatan yang sama kaya Bitha. Gue bakal daftar di kampus yang bakal Bitha masukkin nanti. Gue ngerasa gue harus lindungin Bitha dengan cara selalu ada di samping dia. Kalo gak, gue gak akan bisa tenang."

Steven mengangkat sebelah alisnya, "lo yakin? Dari yang gue tahu, Bitha berniat masuk jurusan Bisnis. Bukannya lo bahkan sampe nentang bokap lo karena ngotot nanti mau ambil jurusan Seni?"

Diaz terdiam sesaat. "Mungkin emang takdir gue harus masuk bisnis kaya kemauan bokap gue. Lagipula, dengan ini pasti dia jadi dukung gue akselerasi, kan?"

Steven, "takdir lo yang nentuin lo juga, kemana lo milih jalan. Buktinya lo bisa nentang bokap lo, kan?"

Diaz, "ya sebelum gue ngerasa perlu ngelindungin Bitha. Lo tahu kan jadi anak tunggal tu berat dan cukup kesepian. Bitha bener-bener udah gue anggap adek gue sendiri meski konyolnya bahkan usia gue lebih muda satu tahun, tapi gue ngerasa gue perlu ada buat Bitha. Hidup dia lebih berat dari kita kaya yang lo tahu. Ga ada salahnya kan, gue berkorban sedikit demi secuil kebahagiaan dia maybe."

Kekehan terdengar dari Steven. "Gue pengen bilang lo bego sampe ngorbanin kesukaan lo di bidang seni itu, tapi nyatanya gue pun sama pemikiran kaya lo. Kalo gitu, ayo sama-sama ambil jalur akselerasi. Dua sayap lebih kuat dibanding satu."

Diaz menoleh dan tersenyum kecil pada Steven. "Yoi. Kita berdua bakal jadi sepasang sayap sempurna buat Bitha."



To Be Continued

***

Gimana chapter ini? >_<

New Me : 0.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang