Part 44

5.2K 605 139
                                    

"Kenapa setiap saya melihatmu, jantung saya berdegup kencang? Menurut google, itu pertanda jatuh cinta. Hmm, sepertinya begitu. Karena saya tidak suka melihatmu bersedih apalagi menangis. Rasanya saya selalu ingin bersama kamu. Bila sebentar saja tidak berjumpa, rasanya rindu sekali. Tapi saya tidak berani mengatakannya langsung karena saya takut kamu tidak menyukai saya dan berakhir hubungan kita menjadi awkward." Reygan bergumam sembari menatap Tabitha yang masih belum sadar dari pingsannya.

Tangan Reygan terjulur untuk mengusap pipi lembut tapi pucat milik Tabitha. "Saya benci melihatmu sakit. Rasanya, bila saya mampu, saya ingin agar saya saja yang sakit. Kamu harus cepat sembuh ya. Jangan membuat saya selalu khawatir memikirkanmu."

Reygan menghela nafasnya berat. Berdiri singkat untuk membenarkan posisi selimut Tabitha. "Saya jatuh cinta padamu tapi saya merasa tidak pantas karena itu sama saja membuatmu terikat dengan masa lalumu yang menyedihkan karena adik bodoh saya. Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak ingin membuatmu selalu berjumpa pada duka mu tapi saya juga ingin memilikimu. Bagaimana ini? Apa kamu akan dapat menerima saya yang memiliki darah yang sama dengan Reihan? Bila saya mengatakan bahwa saya berbeda, apakah kamu akan percaya dan memberikan saya kesempatan?"

"Saya senang dengan kedekatan saya denganmu. Tapi saya masih serakah. Saya tidak ingin hanya dianggap kakak atau senior. Saya ingin kamu memandang saya sebagai seorang pria. Apakah itu memungkinkan?" Lanjut Reygan dengan tatapan sendunya.

Reygan sudah berusaha mengontrol perasaannya. Tapi semakin dirinya berusaha menepis, semakin dirinya disadarkan bahwa memang Reygan telah jatuh cinta pada seorang Tabitha.

Sosok cantik yang baik hati. Sosok yang terlihat kuat namun sebenarnya lemah dan penuh luka di dalam dirinya.

Rasanya Reygan ingin menjadi obat atas luka Tabitha.

Reygan ingin menghapus kenangan duka dari benak Tabitha.

Reygan ingin membahagiakan Tabitha.

Tapi disisi lain, Reygan selalu merasa tak pantas karena dirinya adalah sosok kakak dari laki-laki yang memberikan luka besar pada Tabitha.

Mengikat Tabitha menjadi miliknya, sama saja menarik Tabitha untuk menjadi 'bagian' dari Reihan. Untuk pertama kalinya, Reygan merasa kesal karena dirinya harus dilahirkan sebagai kakak kandung dan sedarah Reihan.

Bila Reygan dan Reihan bukanlah saudara seayah dan seibu, mungkin Reygan bisa menutup mata perihal hubungan keluarga. Tapi faktanya, mereka benar-benar mengalirkan darah yang sama dan berbagi rahim yang sama pula.

Reygan tak pernah merasakan begitu berkeinginan menjalin hubungan dengan seorang perempuan sebelumnya. Semua karena dirinya yang melihat tingkah sang ibu, sangat menjijikan.

Tapi ketika melihat Tabitha. Seperti ada sebuah magnet yang membuat Reygan sulit untuk menolak pesonanya. Reygan jatuh dalam pesona Tabitha dan untuk pertama kalinya jua, berhasrat untuk dapat memiliki perempuan itu.

"Berjuang saja. Sepertinya Rara juga memiliki perasaan yang sama."

Suara Steven menyentak kesadaran Reygan yang tengah melamun memikirkan apa yang harus dilakukannya perihal Tabitha, hingga bahkan tak sadar bahwa Steven sudah masuk ke dalam ruang kesehatan bersama Diaz.

Tak merasa malu telah terpergok, Reygan justru menatap Steven rumit. "Tapi saya adalah kakak Reihan." Sorot yang biasanya selalu menampilkan kedataran, kini terlihat kacau dimata Steven dan Diaz.

"Terus kenapa? Yang penting kan kakak bukan Reihan. Yang paling penting adalah perasaan kalian berdua." Diaz bersedekap dada menatap Reygan.

Steven menyetujui perkataan Diaz. "Daripada mengambil kesimpulan sendiri. Sebaiknya tanyakan langsung pada Rara. Niat kakak mungkin baik karena tidak ingin Rara berpapasan sering dengan Reihan. Tapi, berpura-pura tidak suka ketika Rara juga menyukai kakak, itu justru akan menyakitinya lagi."

Mendengar perkataan Steven dan Diaz, Reygan terdiam sesaat. Sebelum akhirnya tersadar satu hal. "Tunggu! Kalian mengatakan bahwa Bitha memiliki perasaan yang sama? Apakah itu artinya...." Reygan tak mengatakan secara gamblang. Hanya raut wajahnya yang menjelaskan betapa Reygan menginginkan jawaban konfirmasi. Dan hanya dalam waktu singkat, terlihat matanya berbinar meski wajahnya tetap datar, ketika Steven dan Diaz dengan kompak mengangguk.

Diaz, "kita cuma mau Bitha bahagia. Jadi, make sure kakak gak akan pernah lukain dia. Karena kalau itu sampai terjadi, gue gak akan segan meski kakak dari keluarga Sanjaya sekalipun."

"Ya, kami akan langsung membawa Rara pergi sejauh mungkin dan kami pastikan kakak tidak akan pernah melihat Rara lagi." Steven juga turut mengancam.

Reygan tersenyum tipis. Dirinya tidak marah. Justru dirinya lega karena gadis pujaannya memiliki dua sosok yang begitu melindunginya. Bila suatu saat ada keadaan dimana dirinya tak mampu melindungi Tabitha. Steven dan Diaz adalah orang pertama yang akan Reygan mintakan pertolongan untuk menggantikan tugasnya. "Jangan khawatir. Saya berani mempertaruhkan segalanya untuk menjamin itu."

Steven dan Diaz mengangguk puas.

Tanpa ketiganya sadari, sesungguhnya Tabitha sudah sadar sejak Reygan mulai menumpahkan perasaannya. Hanya saja Tabitha sengaja diam karena ingin mendengarnya.

Perlu usaha keras agar Tabitha tidak tersenyum berbunga dan salah tingkah. Apalagi ketika Reygan mengusap pipinya dengan lembut. Sungguh, Tabitha rasanya ingin meleleh.

Semoga saja wajahnya tidak memerah merona.

"Baiklah. Karena kalian sudah berada disini, saya akan menitipkan Bitha kepada kalian karena saya memiliki jadwal kelas. Kalian sudah selesai semua pelajaran, bukan?" Reygan perlu memastikan bahwa Steven dan Diaz mampu menjaga Tabitha terlebih dahulu, sebelum benar-benar meninggalkannya.

Diaz, "kebetulan hari ini cuma dua mata pelajaran aja. Dan ya, kita udah selesai kelas. Kakak bisa tinggalin Bitha sama kita."

Reygan mengangguk dan pamit. Sesungguhnya Reygan masih ingin menemani Tabitha. Tapi terlalu banyak yang menjaga, hanya akan mengganggu Tabitha sendiri nantinya. Lagipula, Reygan masih ada jadwal kelas setelah membolos satu kelas, demi menjaga Tabitha. Reygan tidak ingin Timotius mendapatkan laporan buruk dari pihak kampus tentangnya, yang berujung menyangkut pautkan Tabitha dan menduga bahwa Tabitha membawa pengaruh buruk untuknya. Reygan tidak ingin Tabitha di cap negatif oleh orang lain, Apalagi ayahnya sendiri.

Sepeninggalan Reygan, Diaz dan Steven mendekat ke sisi ranjang dimana Tabitha direbahkan. Dan tanpa berdosa, Steven mencubit pipi Tabitha hingga sang empu memekik terkejut.

"Udah gue duga kalo lo itu udah sadar daritadi." Ujar Steven.

Diaz pun tertawa. Karena tidak hanya Steven yang menyadarinya, Diaz pun sama.

Tabitha melotot, sembari bangkit merubah posisi menjadi duduk. "Kok bisa? Kak Rey aja gak nyadar."

"Dia lagi mumet pikirannya, jadi gak fokus, sampe gak nyadar pipi sama telinga lo merah gitu." Ejek Diaz.

Sedangkan Steven kini sibuk membuka kotak makan yang baru saja dikeluarkannya dari tas miliknya. "Ini bekal lo yang belom sempet lo makan. Beruntung kotak mommy kuat jadi pas jatoh gak kebuka. Jadi, isinya masih utuh. Lo makan dulu dan minum vitamin." Steven menyodorkan bekal itu kepada Tabitha.

Dengan senang hati Tabitha meraihnya dan mulai melahapnya. "Meski tampilannya ancur berantakan, rasanya masih sama. Hambar." Kekeh Tabitha sembari mengunyah salad sayur miliknya.

Steven dan Diaz ikut terkekeh.

Diaz, "ngomong-ngomong, jadinya lo gimana sama Kak Reygan? Bakal ada cinta bersemi dong ya?"

Wajah Tabitha seketika memerah kembali. Tabitha berpura-pura tuli dan tetap fokus pada makanannya, membuat Diaz gemas.

"Kalo lo mau, gue bisa ngomong ke daddy sama mommy, buat jodohin lo sama kak Reygan. Daddy itu rekan bisnis keluarga Sanjaya loh."

Uhuk

Uhuk



To Be Continued

***

Ada yang risih gak sama bahasa baku si babang Reygan? 

New Me : 0.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang