Part 33

6.3K 695 105
                                    

Tubuh Tabitha kini mulai terasa menggigil. Udara malam memang sangat kuat dan bahkan dirinya mengeluarkan begitu banyak tenaga untuk bernyanyi.

Salahnya juga karena memakai pakaian tipis. Dirinya tak mengira bahwa ospek hari ini akan memakan waktu hingga larut.

Masih terlalu ramai semua orang berbondong-bondong menuju parkiran. Sehingga Tabitha menunggu dengan berdiam diri di pinggir lapangan luas itu.

'My Gosh. Dingin banget Zee.' Keluh Tabitha dalam hatinya.

"Lain kali mohon lebih mawas diri agar selalu membawa pakaian hangat, nona."

Tabitha terkekeh. Inilah uniknya mengeluh pada sistemnya. Berbeda dengan manusia yang akan memilih menanggalkan jaketnya atau mungkin mengoceh ala ibu-ibu kepada anaknya. Sistemnya justru menasehatkan dengan nada datar khas robotic.

Tiba-tiba sebuah selimut kecil tersampir melilit di pundak Tabitha yang sontak langsung mendongak untuk melihat pelaku yang memberikannya.

"Steve.." Tabitha tersenyum lebar melihat Steven dengan wajah tampan berkacamatanya, memandang datar Tabitha.

"Udah tau tubuhnya rentan. Kenapa sih pake pakaian kaya gitu?" Oceh Steven.

Tabitha hanya menyengir dengan wajah tak berdosanya. "Gue tu kesiangan dan buru-buru. Gak sadar apa yang di bawa dan gak dibawa."

Steven mendengus namun tangannya terulur untuk Tabitha raih. "Ayo pulang. Gue anter sekalian mau ngomong penting."

Bukannya menggapai uluran tangan Steven. Tabitha justru mengeratkan selimutnya. "Kaki gue kayanya beku deh. Soalnya gue ngerasa kebas." Cicit Tabitha sembari menunduk. Terkadang memang Tabitha merasa salah sudah bertindak ceroboh, tapi lebih bersalah karena jadi merepotkan orang lain.

Tanpa kata, Steven langsung berjongkok di depan Tabitha, menyodorkan punggung tegapnya. "Ayo gue gendong. Kita pake mobil lo aja, soalnya gue tadi emang dianter supir."

Karena sudah terbiasa dengan perhatian Steven seperti Diaz dan Reygan, Tabitha langsung menaiki tubuh Steven, tidak peduli berapa banyak pasang mata yang melihat mereka. Tabitha hanya ingin segera pulang dan beristirahat.

Merasa Tabitha sudah aman di punggungnya, Steven langsung berdiri dan berjalan pelan. Bersyukur selimut yang dibawanya, mampu menutupi bagian belakang Tabitha. Kalau tidak, Steven tentu tak akan menyodorkan punggungnya.

"Meski lo lebih muda dibandingkan gue. Tapi gue ngerasa nyaman banget di gendong kaya gini. Gue kaya punya kakak yang senantiasa ngelindungin adeknya. Gak malu sama orang, yang penting adeknya baik-baik aja." Kekeh Tabitha menyamankan dagunya di pundak Steven.

Steven, "lo emang bakal jadi adek gue."

Tabitha yang sudah terlalu nyaman, memejamkan matanya. "Hm?"

Steven, "orangtua gue setuju banget dan minta gue cepet bawa lo ke rumah. Mereka bahkan nelpon keluarga Diaz biar mereka aja yang angkat lo."

Ya, sebegitu inginnya keluarga Kiehls mengharapkan adanya sosok anak perempuan. Hingga ketika Steven berterus terang, bilamana keluarga Kiehls menolak, maka keluarga Anggara siap mengangkat Tabitha. Dengan cepat, mereka menghubungi keluarga Anggara untuk membiarkan mereka yang mengangkat dan merawat Tabitha.

Tabitha membuka matanya. "Beneran? Segitunya kalian kepengen gue bergabung diantara kalian? Padahal keluarga kandung gue aja gak anggep gue ada. Gue juga penyakitan loh."

"Ck! Mereka aja gak punya otak. Intinya besok, lo bakal gue jemput buat ketemu keluarga besar gue. Mereka gak sabar pengen kenalan dan urus surat resmi pengangkatan."

New Me : 0.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang