"Nona? Apa nona baik-baik saja?"
Tabitha kini tengah duduk melamun di balkon Apartementnya. Tabitha masih mengingat ketika dirinya dipertemukan dengan sosok Alexandria yang terbaring koma dengan berbagai macam alat di tubuhnya tiga hari yang lalu.
Alexandria tampak begitu cantik namun sudah tak terlihat rona di balik kulitnya yang pucat. Mengingat perkataan 0.2 bahwa Alexandria adalah sosok sahabat yang selalu ada bagi Tabitha asli, membuat jiwanya merasa prihatin.
Tabitha asli telah tiada dan kini Alexandria pun koma. Bukankah keduanya seperti sahabat sejati?
Yang membuat hati Tabitha terenyuh adalah Alexandria menyelamatkan Reihan, selain karena alasan kemanusiaan namun karena tak ingin Tabitha bersedih. Reihan adalah orang pertama yang mengulurkan tangannya pada Tabitha bahkan sebelum bertemu dengan Alexandria.
Meski Reihan telah berubah namun Alexandria tetap merasa bahwa Reihan adalah penyemangat Tabitha. Meski redup, Reihan tetaplah cahaya Tabitha.
Setulus itu Alexandria memperlakukan Tabitha dan kini sosok Natalia yang berada di tubuh Tabitha tidak bisa tidak memikirkannya.
Kini dirinya telah menjadi Tabitha dan perasaan terikat dengan Alexandria, entah mengapa tetap dapat dirinya rasakan. Tabitha ingin Alexandria segera bangun. Tabitha membutuhkan sahabatnya.
Tidak, lebih tepatnya Natalia juga menginginkan sahabat tulus seperti Alexandria.
"Zee? Apa gue gak bisa nyelamatin Lexa? Sebenernya apa yang buat dia koma? Pasti ada hal medis yang masuk di akal logika yang buat dia kaya gitu, kan?"
"Untuk hal medis memang ada. Kecelakaan yang di alami antagonis Alexandria tidaklah ringan. Selain mematahkan tulang rusuknya hingga menusuk organ paru-paru, hati, dan ginjalnya. Kepalanya juga mengalami benturan parah."
Tabitha, "kenapa lo ga jawab pertanyaan pertama gue, Zee? Apa gue gak bisa nyelamatin Lexa? Gue tahu kalau lo gak bisa tapi gue?"
"Sebenarnya anda bisa namun tak dianjurkan."
Binaran mata di balik manik Tabitha berpendar. "Kasih tau gue, Zee. Gue harus selamatin Lexa."
"Anda hanya memberikan bantuan namun keselamatan antagonis Alexandria tetaplah takdir yang menentukan."
Tabitha tetap mengangguk antusias, "gak papa, jadi apa? Gue harus ngapain?"
"Anda menjadi pendonor seluruh organ antagonis Alexandria yang rusak. Paru-paru, hati, dan satu ginjal. Mengerikan, bukan? Jadi sebaiknya nona melupakannya karena itu tidak dianjurkan untuk manusia yang masih menginginkan kehidupan. Itu sebabnya sampai saat ini tak ada satupun pendonor yang keluarga Wijaya temukan untuk antagonis Alexandria."
Senyum harapan yang sebelumnya terpatri di bibir Tabitha kini meluntur namun tetap masih mempertahankan senyum tipisnya. "Kalo gue lakuin itu, lo bisa sembuhin gue kan?"
"Untuk hal seperti ini, saya tidak dapat membantu. Bila nona tetap bersikukuh maka nona sendiri yang akan rentan sakit dan persentase kesehatan tidak berlaku untuk keputusan nona yang ini. bagaimanapun, nona sendiri yang mengakibatkan tubuh nona kesakitan. Itu diluar kontrol perlindungan sistem. Apa nona masih ingin tetap melakukannya?"
Senyum Tabitha kini luntur dengan sempurna. Tatapan matanya kosong. Dirinya takut namun hati nuraninya mengatakan semua akan baik-baik saja. Lagipula bukankah dirinya sudah terberkati dengan hidup kedua kalinya, mungkin tidak ada salahnya membagikan sedikit berkatnya pada Alexandria.
Sepanjang menjadi sahabat Tabitha, Alexandria lebih sering mengalah demi kebahagiaan Tabitha. Kini ingin rasanya dirinyalah yang membuat Alexandria bahagia. Sosok antagonis di mata semua orang akan berakhir bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Me : 0.2
FantasiaSuara Tabitha terdengar kembali, "lihatlah, saya meninggalkan semuanya disini, saya tidak membawa uang sepersenpun milik kalian, saya hanya meminta pakaian yang melekat pada saya sekarang, nyonya Hartigan dapat mengecek dalaman saya bila khawatir sa...