14. Persidangan

16 8 0
                                    

Yesinta Ferlin. Kerap di sapa ibu Yesi oleh orang yang bekerja bersamanya. Baik itu di sekolah maupun di toko. Pagi ini, bu Yesi sudah berada di ruangannya yang berada di gedung utama yayasan Cakrawala. Gedung utama ini menghubungkan antara SMP dan SMA-nya Cakrawala. Lalu untuk TK dan SD-nya Cakrawala berada di seberangnya. Karena yayasan Cakrawala itu satu komplek, jadi luasnya sangat luar biasa.

Jika disuruh memilih untuk bekerja di bidang pendidikan atau mengelola bisnis tokonya, bu Yesi lebih memilih tokonya. Karena tokonya adalah sebagian nyawa dan impiannya. Menjadi ketua yayasan Cakrawala adalah sebuah amanah dari almarhum ayahnya. Dan mau tidak mau, bu Yesi tetap menjalankannya.

Dan di sinilah sekarang, ruangan kantor ketua yayasan yang sangat luas dan bersih. Mungkin bisa dihitung jari, bu Yesi menempati ruangannya tersebut. Namun meski begitu, petugas kebersihan sekolah tetap merawatnya.

Bu Yesi menatap foto almarhum ayah dan ibunya yang tersenyum manis di sana. Dia begitu merindukan orang tuanya. Dan tentu saja dia juga merindukan almarhum suaminya, yang sudah tiada tiga tahun lalu. Kini, bu Yesi hanya memiliki dua buah hatinya yang akan dia jaga sampai mereka mempunyai keluarga masing-masing.

Kegiatan bu Yesi terhenti ketika pak Arman, selaku kepala sekolah SMA Cakrawala datang menemuinya, lebih tepatnya, memenuhi panggilannya. Karena semalam, bu Yesi menghubungi pak Arman, terkait permasalahan yang kemarin Gani ceritakan.

"Silakan duduk pak Arman." Bu Yesi berkata ramah.

Pak Arman menurut. Sejujurnya pak Arman tidak terkejut bila dirinya di panggil oleh bu Yesi terkait masalah kemarin. Mengingat lagi anaknya bu Yesi sekolah di sini. Jadi sudah dipastikan, bu Yesi mendengar dari anaknya. "Sebelumnya mohon maaf bu Yesi, apabila saya dan pihak sekolah belum memberikan informasi dan keterangan kepada ibu, soal masalah pembullyan yang terjadi di sekolah kita."

"Tidak apa-apa pak Arman, saya juga pernah berkata kepada bapak, kalau memang bapak atau pihak sekolah bisa menyelesaikan, tanpa adanya saya, silakan. Saya akan membantu bila memang sudah sangat darurat. Tapi, mohon maaf, untuk kasus kali ini, saya akan turun tangan. Karena ini bisa mencemari nama baik sekolah dan Cakrawala. Apalagi ini sudah ke ranah kekerasan dan pembullyan."

Pak Arman mengangguk, memang sepertinya masalah ini harus dibantu dengan bu Yesi. Supaya media luar sekolah, tidak membuat berita yang berlebihan, dan nantinya akan merugikan sekolah maupun Cakrawala. "Sekali lagi saya minta maaf bu Yesi. Tidak bermaksud untuk menutup mata terkait pembullyan yang terjadi kepada anak-anak. Tapi kejadiannya benar-benar di luar kendali guru. Apalagi anak usia SMA benar-benar sangat rawan."

"Saya paham pak Arman, tidak seratus persen salah sekolah. Saya sudah melihat rekaman videonya. Itu benar-benar sangat fatal, dan saya juga sudah memberikan kompensasi kepada pihak korban, yang bernama Dinda. Meskipun orang tua Dinda tidak tahu kebenarannya terkait hal yang menimpa anak mereka, tapi cepat atau lambat, sekolah, terutama saya, harus memberi tahu yang sebenarnya. Apapun respon orang tua Dinda nantinya, saya harap kami semua lapang menerimanya."

Pak Arman kembali menggangguk. "Baik bu Yesi, apapun demi kebaikan sekolah."

"Jadi, kapan sidang akan dimulai? Apakah semua anak yang terlibat sudah dipastikan masuk sekolah? Dan orang tua mereka juga sudah menyanggupi untuk hadir di sekolah?"

"Sesuai rencana bu, yaitu jam sepuluh. Setelah istirahat ke dua. Dan anak-anak yang terlibat sudah dipastikan masuk semua, untuk orang tua juga sudah menyetujui untuk hadir."

Bu Yesi mengangguk paham. "Ya sudah pak Arman, terima kasih sudah datang. Semoga sidangnya berjalan dengan lancar." Sebelum mempersilakan pak Arman untuk undur diri, bu Yesi kembali teringat pesan Gani.

Lintingan Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang