32. Bukan lagi ke rumah

14 6 0
                                    

"Mau muter-muter lagi?" Gani kembali menawarkan kepada Arzoya. Dihitung-hitung, mereka sudah berkeliling memutari kota. Arzoya belum mau pulang, bahkan selama diperjalanan, Arzoya masih menangis.

"Dari tadi, kita udah muter-muter terus, nanti lo pusing." Ucap Arzoya pelan.

Gani tertawa mendengarnya. "Enggak kok, atau mau kemana?"

Arzoya bingung, dia ingin pulang ke rumah, tapi semua perkataan Desti masih terekam jelas di otaknya. Dia masih mengingatnya. Itu yang membuat Arzoya bingung harus pulang ke rumah atau tidak? Dan apa dia pantas untuk menyebut rumah itu sebagai rumahnya? Fakta bahwa dia hanyalah anak haram, dari wanita bayaran, bahkan kehadirannya pun sangat tidak diharapkan. Dia bukan siapa-siapa di keluarga Syair. Dia hanyalah perusak.

"Zoya?" Gani kembali menyadarkan Arzoya, karena pertanyaannya tak kunjung dijawab.

"Gani, gue belum mau pulang."

"Yaudah, ikut gue aja kalau gitu."

Gani mengajak Arzoya ke lapangan voli yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Di sana juga terdapat sebuah taman untuk menikmati pemandangan malam yang indah.

"Dari dulu, gue sering latihan di sini. Kebetulan deket dari rumah. Dan dari sinilah gue punya banyak temen yang sama-sama menyukai voli." Gani menatap lapangan voli yang berada di depannya. Dia mengingat masa lalunya.

Arzoya ikut menatapnya. Kemudian mengalihkan pandangannya kepada Gani. Gani dan dirinya sangat berbeda. Arzoya jadi mulai membandingkan. Gani orangnya sangat hangat karena memiliki keluarga yang hangat pula. Sedangkan dirinya, dari kecil tidak pernah tahu bagaimana rasanya diperhatikan oleh mamanya. Bahkan mirisnya, sampai dia umur delapan belas tahun, dia tidak pernah tahu bagaimana wujud papanya. Dia tidak pernah mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.

"Gani?"

"Iya?"

"Kenapa lo suka sama gue?"

Gani diam sebentar sebelum menggenggam tangan Arzoya. Udara malam ini terasa dingin. "Mungkin bisa dibilang, cinta pada pandangan pertama?" Gani terkekeh setelah mengatakannya. "Gue tertarik saat ketemu lo di GOR waktu itu. Semua tingkah lo, suara lo, dan wajah lo jadi kebayang terus. Saat gue dikasih waktu libur, gue jadi semangat untuk sekolah. Karena—mau ketemu sama lo. Dan benar... Begitu gue ketemu sama lo terus-terusan, gue jadi kecanduan. Gue mau ada di sisi lo, mau jadi temen lo, nggak mau lihat lo nangis terus. Dan gue sadar, kalau semua yang gue rasain itu bukan hanya perasaan seorang temen. Tapi lebih dari itu. Saat temen-temen gue bilang, kalau lo udah punya pacar, dan orangnya itu adalah Raska. Gue kecewa. Ternyata gue nggak akan mungkin bisa miliki lo. Tapi... gue tetep mau jadi temen lo." Mereka saling menatap satu sama lain. "Saat lo bilang sendiri, kalau lo bukan pacarnya Raska. Gue beneran bahagia, Arzoya. Artinya, gue bisa miliki lo." Gani mengecup punggung tangan Arzoya. "Terima kasih, karena sudah mau sama gue. Gue cinta sama lo."

Arzoya menggeleng, lalu memeluk Gani begitu erat. Dia kembali menangis. Menangis karena terharu. Dia sungguh bahagia dan bersyukur bisa bertemu, berteman, bahkan menjadi milik Gani. "Harusnya gue yang bilang terima kasih. Karena lo mau sama gue, dengan segala hal yang mungkin pernah lo dengar dari orang lain, tentang gue. Gani... Apapun yang terjadi, lo harus bahagia, lo berhak bahagia. Ada ataupun enggak ada gue."

Gani menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Arzoya. "Gue nggak peduli sama omongan orang lain tentang lo. Dan gue, akan bahagia dan pasti bahagia, karena sama lo."

Arzoya mengeratkan pelukannya. Dia tidak tahu, apa yang akan terjadi kedepannya. Sekarang, dia hanya ingin menikmati malam ini bersama Gani. "Terima kasih selalu ada di sisi gue." Ucap Arzoya tulus.

Lintingan Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang