22. Menahan Amarah

12 6 0
                                    

Konsekuensi di perpustakaan masih dilaksanakan. Hari ini adalah jadwalnya Arzoya, jadi saat istirahat kedua, Arzoya akan membantu petugas perpustakaan. Baik itu bersih-bersih atau menata buku.

Perpustakaan SMA Cakrawala begitu luas. Ruangannya terdapat dua lantai. Lantai satu untuk meletakkan buku-buku dan lantai dua untuk tempat membaca.

Selama mendapatkan konsekuensi di perpustakaan, Arzoya lebih suka menata buku di lantai satu. Karena Arzoya bisa sambil membaca buku. Setelah rak pertama dan kedua selesai ditata, kini giliran rak ketiga. Entah ulah siapa, rak ketiga ini sangat berantakan. Arzoya mengembuskan napasnya perlahan, kemudian mulai menata rak ketiga dengan sisa tenaga yang masih ada.

Arzoya begitu fokus saat menata buku, sampai tidak sadar bahwa tumpukan buku di rak paling atas bergoyang. Saat Arzoya lengah, buku-buku itu jatuh mengenainya. Dengan hitungan detik, Arzoya merasakan tubuhnya ditarik ke samping. Buku-buku itu jatuh berserakan di lantai, Arzoya terkejut melihatnya.

"Perhatiin sekeliling lo, kalau tadi nggak gue tarik, kepala lo bakal kena tumpukan buku itu."

Raska menolongnya. Sudah lama sekali Arzoya tidak menatap mata itu. Arzoya sangat merindukan Raska-nya yang dulu. Tapi begitu sadar bahwa Raska sudah bukan siapa-siapanya lagi, Arzoya melepaskan rengkuhan Raska padanya.

"Thanks udah nolongin." Arzoya mendekat ke buku yang tadi terjatuh, dan segera memberesinya. Waktu istirahat jam kedua akan segera berakhir. Jadi, Arzoya tidak mau menyia-nyiakan waktu yang tersisa.

"Kalau udah capek, nggak usah dipaksain." Ucap Raska lagi, dan membantu memberesi buku-buku tersebut.

"Ngapain di sini?" Arzoya heran dengan sikap Raska. Semenjak minta putus, Raska bersikap cuek dan tidak peduli dengannya. Bahkan kalimat menyakitkan pun tak sulit untuk Raska keluarkan.

"Nggak usah kegeer-an. Gue bukan ngikutin lo, kebetulan lagi ambil buku dan lihat lo mau kejatuhan buku."

"Ya, gue tahu. Mana mungkin kan lo ngikutin gue. Btw makasih udah bantuin." Rasanya, mereka sudah seperti orang asing. Panggilan aku-kamu yang selalu Arzoya ucapkan pun, kini hilang begitu saja.

Hingga tidak terasa bel masuk sudah berbunyi di penjuru sekolah. Arzoya segera meninggalkan Raska dan perpustakaan. Tanpa sadar, semua gerak-gerik Arzoya masih Raska perhatikan. Hatinya begitu nyeri mengingat hubungan mereka sudah tidak seperti dulu lagi.

Dua tahun yang lalu

"Raska..."

Merasa namanya dipanggil, Raska menghentikan langkahnya. Raska menatap cewek di depannya dengan tatapan malas. 

"Lo masih ingat sama keinginan gue kan? Jadi gimana?"

Raska mengembuskan napasnya perlahan, sungguh posisinya tidak ia inginkan. Berurusan dengan keluarga Devananda bukan keinginannya. Kebetulan sekali, papanya adalah asisten dari Jaksa terkenal yang bernama Devananda. Namun sangat disayangkan, papanya terjerat kasus korupsi. Bahkan semua bukti sudah ada padanya. Karena kepintaran dan kekuasaan Devananda, maka kasus sang papa hilang tanpa jejak, lenyap begitu saja.

"Kalau bukan karena papa gue yang bantu papa lo, mana mungkin, papa lo masih bisa menghirup udara segar."

Raska mengepalkan tangannya kuat. Jika manusia di depannya ini bukanlah cewek, sudah dipastikan, Raska menonjokknya dari tadi. "Kinan stop!"

"Gue udah kasih waktu satu minggu, buat lo terima keinginan gue. Tapi udah satu minggu lebih, lo nggak ada omongan. Lo bahkan ngehindarin gue. Apa perlu gue bilang sama papa, hah?"

Raska sangat marah mendengar ancaman Kinan yang seenaknya. "Kinan, gue nggak bisa terima tawaran lo. Gue nggak mungkin jadi cowok lo, gue udah punya pacar."

Lintingan Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang