34. Bertemu mama

12 6 0
                                    

Lima tahun yang lalu

Suara ketukan pintu di ruangannya terdengar beberapa kali, kemudian pintu pun terbuka. Sekertaris kepercayaannya berdiri dengan senyum ramahnya.

"Mohon maaf bu Feni, ada yang ingin bertemu dengan ibu."

"Bukannya kamu sudah tahu prosedurnya? Semua orang tidak bisa sembarangan bertemu dengan saya kalau tidak punya janji. Siapa orangnya?"

"Maaf bu, sudah saya katakan seperti itu. Namun yang mau bertemu dengan ibu adalah mantan suami ibu."

Feni terkejut mendengar ucapan sekertarisnya. Sudah tiga belas tahun berlalu, semenjak perceraian mereka. Selama ini, Rama, mantan suaminya menepati janjinya untuk tidak muncul lagi dikehidupannya. Namun sekarang? Kenapa dia ada di sini?Tiba-tiba Feni merasa marah.

"Suruh dia masuk."

"Baik bu."

Sekertaris Feni kemudian datang kembali dengan Rama. Kedatangan Rama tiba-tiba menimbulkan hawa panas. Feni menatap benci. Dia masih sangat membenci pria yang berdiri di hadapannya. Rama masih sama dari yang terakhir dulu ia lihat.

"Saya permisi dulu." Pamit sang sekertaris, memberi ruang untuk bosnya.

"Kamu lupa sama janji kamu, Ram?" Dia langsung bertanya, karena terkejut dengan kedatangan Rama.

Rama menggeleng. "Nggak, aku nggak lupa. Aku memang sengaja mau ke sini."

"Maksudnya?"

"Fen, aku memang nggak lupa sama janji aku. Tapi, aku nggak bisa, aku nggak kuat. Aku nggak masalah nggak bisa ngobrol dan ketemu langsung sama anak-anak, tapi... Aku ingin melihat mereka. Mau bagaimana pun aku adalah papa mereka."

Plaaak. Setelah tiga belas tahun, Feni kembali menampar pipi mantan suaminya. "Kamu beneran lancang ya! Setelah aku kabulin kemauan kamu, ini balasan kamu? Bahkan setelah aku lepasin kamu, aku nggak bahagia, aku nggak pernah bisa bebas Ram. Aku harus menghindar dari semua orang. Aku dicaci maki sama saudara bahkan teman aku, karena udah berhasil dibodohi sama suami nggak berguna kayak kamu. Dan sekarang dengan gampangnya kamu kembali ke sini untuk bisa dapetin kebahagiaan kamu melalui anak-anak? Nggak! Aku nggak rela."

Rama menunduk, dia bersimpuh untuk memohon kepada Feni. Dia benar-benar tersiksa. Selama ini dia pikir bisa mengatasinya. Cerai dari istri yang tidak ia cintai, main wanita, punya anak. Tapi dia tidak pernah bahagia. Karena dia sadar, sumber kebahagiaannya adalah anak-anaknya.

"Aku memang bodoh, tidak berguna, tidak tahu diri, bajingan, brengsek, tapi Feni... aku ini adalah seorang ayah. Apa kamu nggak kasihan sama anak-anak, dia juga butuh aku sebagai ayahnya."

Feni mengepalkan kedua tangannya. Rama benar-benar berhasil mengaduk-aduk emosinya. "Selama dia hidup sama aku, dia nggak butuh ayah. Karena mereka sudah tahu, seperti apa sosok ayahnya. Dan jangan harap, kalau mereka bertemu kamu, mereka akan menangis bahagia dan terharu, No. Mereka sudah sangat membenci kamu, Rama." Feni mengembuskan napasnya perlahan. "Sekarang pergi! Kamu hanya akan menggangu pekerjaanku."

"Suatu saat akan aku buktikan Fen. Mau bagaimana pun mereka akan membutuhkan aku." Rama tidak lagi memohon kepada Feni, karena dia memilih untuk pergi dari sana.

Selepas kepergian Rama, Feni kembali duduk dan menundukkan kepalanya. Dia menangis, hidupnya benar-benar berantakan. Sejujurnya, dia tidak tahu harus bagaimana, dan cara apa yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki kekacauan ini.

♥️♥️♥️♥️


"Bu Feni? Sudah tiga hari ibu nggak mau pulang. Wajah ibu juga pucet banget, ibu makan dulu ya? Dari kemarin, ibu nggak mau makan."

Lintingan Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang