13. Orang yang tulus di sisinya

14 9 0
                                    

Bi Atik berjalan cepat ke kamar Arzoya, karena dia khawatir, sudah jam makan malam, namun Arzoya juga belum keluar kamar. Hanya ada dua kemungkinan Arzoya masih di dalam kamarnya. Kemungkinan yang pertama adalah sedang belajar ataupun mengerjakan tugas sekolah. Kemungkinan yang kedua adalah tertidur.

Sebelum membuka pintu, bi Atik mengetuknya beberapa kali. Karena tidak ada jawaban, maka bi Atik segera membukanya. Dan benar adanya, bi Atik melihat Arzoya tertidur pulas di ranjangnya. Bi Atik tersenyum, lalu berjalan mendekat untuk duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya dia gunakan untuk merapikan rambut Arzoya. Namun saat tangannya bersentuhan dengan kulit wajah Arzoya, kekhawatiran bi Atik bertambah. Arzoya demam.

"YaAllah mbak Zoya... Kenapa nggak bilang sama bibi kalau sakit." Bi Atik akhirnya keluar kamar untuk mengambil kompresan.

Bi Atik segera mengompres Arzoya dengan air hangat. Tidak lupa bi Atik menyiapkan obat demam dengan air mineral. Bila sewaktu- waktu Arzoya ingin minum obat, Maka sudah tersedia. Namun belum sampai bi Atik meninggalkan kamar Arzoya, Arzoya sudah bangun dengan suara paraunya.

"Bi... Jangan pergi..." Arzoya duduk dengan keadaan pusing yang luar biasa.

Bi Atik segera melangkah mendekat dan memegang tangan Arzoya. "Enggak, bibi nggak pergi. Bibi di sini. Apa yang mbak Zoya rasakan? Coba ngomong sama bibi."

"Pusing banget bi."

Bibi segera mengambil obat dan menyiapkan air mineralnya. "Ini obat demam sama pusing, diminum dulu! Kalau yakin sembuh, pasti besok sudah sembuh." Bi Atik memberikan obat beserta air minumnya kepada Arzoya.

"Mau makan malam dulu?"

Arzoya menggeleng, rasanya mual jika harus makan nasi. "Enggak bi... Tadi sebelum tidur aku udah makan roti."

"Yaudah kalau gitu, mau tidur lagi? Biar bibi temenin di sini."

Arzoya mengangguk dan kembali berbaring di ranjangnya.

"Apa mama udah di rumah bi?"

"Bibi belum lihat ibu. Memangnya sudah waktunya pulang?"

Arzoya tersenyum kemudian menggeleng. Kemungkinan besar, mamanya kembali lagi ke Malaysia, melanjutkan pekerjaannya.

"Sekarang fokus sama kesehatan mbak Zoya aja ya? Atau mau dipanggil dokter Rina?"

"Jangan, enggak. Aku nggak sesakit itu bi, sampai panggil dokter Rina. Bibi jangan keluar dulu ya?! kalau aku udah tidur, bibi baru boleh keluar."

"Iya mbak Zoya... Mbak Zoya mau didongengin apa? Atau mau dinyanyikan lagu apa?"

Arzoya tertawa mendengar pertanyaan bi Atik. Sedikit mengurangi rasa pusingnya. "Nggak usah bi, bibi cukup di samping aku aja."

Bi Atik mengangguk, dan mengusap-usap lengan Arzoya. Salah satu cara yang membuat Arzoya cepat tertidur. Bi Atik tersenyum melihat Arzoya sudah terlelap. Mungkin juga karena pengaruh obat yang diminumnya. Melihat Arzoya yang damai dengan lelapnya seperti ini, sering kali membuat bi Atik sedih sendiri. Rasanya ingin menangis jika mengetahui begitu kejamnya dunia ini bagi Arzoya.

"Jadi anak yang sukses ya mbak?! Bibi yakin, kamu akan jadi orang hebat. Bibi percaya, adanya kamu di dunia ini, karena takdir yang akan indah pada waktunya. Jangan sakit dan sedih sendirian, bibi selalu di samping mbak Zoya." Tanpa sadar, bi Atik menangis saat mengatakannya. Mungkin kalau bisa jujur, dia akan mengatakan yang sebenarnya kepada Arzoya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

♥️♥️♥️♥️

Hoodie hitamnya cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Arzoya menatap gerbang sekolah. Meskipun masih kurang sehat, Arzoya tetap masuk sekolah karena hari ini adalah penentuan hukuman baginya. Apapun hukumannya, Arzoya tidak akan mengelak.

Semua mata menatapnya ketika Arzoya berjalan di lorong sekolahan. Arzoya sangat muak sekali dengan berbagai tatapan mereka. Karena masih ada waktu, Arzoya memilih melangkah menuju rooftop. Hanya di sana Arzoya bisa bernapas lega.

Baru juga sampai di rooftop, Arzoya dikejutkan dengan keberadaan Raska di sana. Mau apa dia?

"Gue sengaja di sini, karena tahu lo bakalan ke sini." Ucap Raska menatap Arzoya sekilas.

Arzoya tetap berdiri di tempatnya tanpa melangkah mendekat. "Ada apa?" Arzoya hanya berharap keberadaan Raska di sini bukan untuk memarahinya karena Arzoya sudah melukai Kinan, pacarnya.

Raska mengembuskan napasnya. "Kenapa? Kenapa lo harus sejauh ini?"

Arzoya menatap punggung Raska, yang dari dulu adalah favoritnya. "Maksud kamu?"

"Kenapa tindakan lo sejauh ini buat menyakiti orang lain." Raska maju, melangkah mendekati Arzoya. "Dari dulu, sikap arogan dan agresif lo nggak pernah berubah. Itu yang buat orang lain nggak suka sama lo."

Arzoya tersenyum miring, ternyata Raska memang berniat ingin melukai hatinya kembali. "Memangnya kenapa? Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau semuanya tentang aku itu bukan urusan kamu lagi. Mau aku menyakiti orang lain, mau bunuh orang lain sekalipun, itu nggak ada hubungannya sama kamu. Dan aku juga nggak peduli tanggapan orang lain tentang aku."

Ada jeda lama sebelum Raska kembali bersuara. "Gue memang nggak peduli lo mau bertingkah kayak gimana pun. Tapi jangan libatin cewek gue. Jangan sakiti dia."

Dari semua kalimat yang pernah Raska katakan padanya, Arzoya sangat membenci kalimat barusan. Arzoya membenci Raska yang sangat peduli kepada Kinan. Itu sangat menyakiti hatinya. Apakah dia benar-benar seburuk itu untuk Raska, sekarang?

Arzoya mengepalkan tangannya sembari menahan tangisnya. "Raska? Apa lo benar-benar tutup mata dan telinga? Cewek yang lo bela itu juga menyakiti orang lain tanpa ampun. Dia juga jahat, arogan, dan agresif." Arzoya tidak bisa menyembunyikan air matanya. Saat berkata, Arzoya benar-benar menangis. Hatinya sudah sangat terluka. Bahkan dengan sadar, Arzoya merubah kata panggilan 'kamu' menjadi 'lo'.

"Gue tahu, tapi gue nggak suka cara lo membalas perbuatan Kinan."

Plaaak. Arzoya menampar Raska. Dia sudah tidak tahan dengan omongan Raska untuknya. "Kalau tujuan lo hanya mau membela Kinan, lo mendingan datang menemui pak Arman. Bukan gue. Sekarang pergi!" Arzoya menyeka air matanya. "PERGI!" Arzoya berteriak di depan Raska, karena dia masih berdiri di sana. Tanpa berucap lagi, Raska pun menuruti Arzoya.

Seperginya Raska, Arzoya berjongkok dan kembali menangis sejadi-jadinya. Kenapa cobaan hidupnya sangat menyakitkan. Dulu, Raska yang selalu berada di sisinya, menemaninya, dan membelanya. Kini, menjadi salah satu orang yang berhasil menyakitinya.

Begitu lama Arzoya menangis, bahkan dia masih berjongkok dan menundukkan kepalanya. Sampai tidak menyadari keberadaan seseorang di sampingnya.

"Mau bolos dan bersenang-senang bareng gue?" Bisiknya pelan.

Arzoya mendengarnya, kemudian menatap siapa orang yang berani datang ke sini saat dia nangis. Gani, dia yang ikut berjongkok di sampingnya, dengan senyum tanpa dosanya.

"Gimana? Mau?" Tanya Gani kembali.

Arzoya menggeleng, hari ini hukumannya akan ditentukan. Sangat tidak lucu jika Arzoya tidak ada.

"Berarti kalau nggak mau sekarang, nanti sepulang sekolah mau?"

"Kemana?"

"Terserah elo. Lo mau kemana pun, gue anterin."

"Kenapa? Kenapa elo baik sama gue? Gue itu jahat, pembully, tukang rusuh, hobi nyakitin orang lain. Kalau deket-deket sama gue, lo bisa kena sial."

Gani tertawa mendengar perkataan Arzoya. Sampai lesung pipinya terlihat. "Di luar sana, gue juga punya temen preman. Tapi gue nggak apa-apa tuh, enjoy aja temenan sama mereka. Begitu pun juga dengan elo. Gue nggak peduli, mau gimana pun elo. Gue mau temenan sama lo, Arzoya."

Arzoya menangis lagi, mendengar perkataan Gani. Kenapa mudah sekali untuk Gani berkata begitu. Dan sialnya terdengar sangat tulus. Arzoya takut, sangat takut, jika suatu saat, Gani juga meninggalkannya.

"Udah beberapa kali gue lihat lo lagi nangis. Coba dong... senyum?! Gue mau lihat senyum lo."

Arzoya mengusap air matanya, dan mencoba tersenyum. Meskipun hanya sebentar, setidaknya Gani sudah berhasil membuat Arzoya tersenyum hari ini.

♥️♥️♥️♥️

Lintingan Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang