6. Bahagia, Sedih, dan Marah

19 9 0
                                    

Kruuuk. Suara perut Arzoya terdengar lagi. Gani melirik Arzoya yang sedang menundukkan kepalanya, karena malu. Gani rasa kalau cewek di sebelahnya ini sedang lapar.

"Masih lama nggak sopir lo?" Tanya Gani memastikan.

"Enggak tahu. Tapi udah gue kirim lokasinya, mungkin lagi di perjalanan."

"Di seberang jalan ini, ada mi ayam. Kita makan dulu, mau?" Gani menawarkan dengan nada lembut.

Arzoya mengangguk semangat. Dia tidak bisa bohong, kalau rasanya sudah sangat kelaparan. Akhirnya mereka berjalan beriringan menuju tempat penjual mi ayam. Kebetulan sekali pembelinya tidak begitu banyak. Jadi mereka tidak menunggu terlalu lama.

"Gani, lo kelas berapa sih? kayaknya gue nggak pernah lihat lo deh, kalau di sekolah."

"Tebak coba, gue kelas berapa."

Arzoya berekspresi seperti sedang berpikir keras. "Sepuluh? Eh tapi nggak mungkin banget. Sebelas? Iya kayaknya kelas sebelas nih. Eh tapi... Bisa juga dua belas? Eh nggak mungkin juga. Gue nggak pernah lihat lo di sekitar kelas dua belas. Nah... Pasti sebelas kan?"

Gani tertawa mendengar analisa Arzoya tentang dirinya. Benar-benar lucu. "Salah."

"Oh, berarti kelas sepuluh."

"Hahaha salah juga."

Arzoya terkejut mendengarnya. "Lah... Berarti kelas dua belas dong."

"Iya bener banget. Lo juga kelas dua belas kan?"

"Hah? Ya ampun... Iya. Kita seangkatan dong." Arzoya benar-benar tidak percaya kalau Gani seangkatan dengannya. Pasalnya, sekali saja, Arzoya belum pernah melihatnya di sekolah.

Kegiatan berbincang mereka terhenti karena mi ayamnya sudah datang. Melihat tampilan mi ayamnya, membuat Arzoya tergoda ingin segera memakannya. "Gue mau fokus makan dulu. Jangan ganggu."

"Iya, silakan. Pelan-pelan aja makannya!"

Arzoya fokus makan mi ayamnya dengan lahap, tanpa memedulikan Gani dan sekitarnya. Berbanding terbalik dengan Gani, dia tidak fokus makan mi ayamnya, namun fokus menatap Arzoya yang makan dengan lahap.

"Kok nggak dimakan? Enak banget lho padahal."

"Lihat lo makan, bikin gue kenyang. Kalau masih laper bilang ya?! gue pesenin lagi."

"Udah kenyang banget."

Kini giliran Gani yang mulai makan. Sebenarnya dia sudah makan setelah pertandingan usai. Jadi, makannya tidak selahap Arzoya.

"Gue belum tanya, jadinya lo itu anak IPA apa IPS?" Kini obrolan mereka kembali dimulai. "Jangan suruh gue nebak lagi." Sambung Arzoya kemudian.

"IPA. Gue anak kelas IPA tiga. Gue maklum aja waktu lo nggak percaya kita seangkatan. Karena gue hampir nggak pernah ke sekolah. Semenjak gue gabung di klub voli luar sekolah, gue banyak bolosnya. Karena pertandingan demi pertandingan."

Arzoya mengangguk paham. "Oh jadi begitu... Pantes aja."

"Eh ini ada nomor nggak di kenal telepon gue, barangkali nomor yang tadi lo telepon."

Arzoya menerima ponsel Gani yang menampilkan sederet angka. Ini bukan nomor bi Atik. Tapi Arzoya tetap mengangkatnya. "Halo?"

"Halo mbak Zoya... Ini pak Agus. Bapak sudah sampai di lokasi yang tadi bi Atik kirimkan. Mbak Zoya di mana?"

"Oh pak Agus... Aku lagi makan di seberangnya pak. Tunggu sebentar ya?! Zoya segera ke situ."

"Siap mbak... Makan dulu nggak apa-apa. Bapak tunggu di sini."

Lintingan Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang