Almamater, kucing, hujan, dan Malioboro. 4 hal sederhana itu selalu berhasil membuatku teringat akan pertemuan pertama kita, Kak.
Sore itu, selepas acara PKKMB tingkat Universitas, aku memutuskan untuk melipir sejenak ke Malioboro, masih dengan almamater kebanggaan yang tidak aku lepas.
Hujan tiba-tiba turun. Beberapa orang panik untuk mencari tempat teduh. Untung saja aku membawa payung. Tetapi begitu aku membuka payungku, pandanganku terpaku pada seekor anak kucing yang tampak tak berdaya di bawah pohon.
Ah, sial. Aku sangat alergi dengan bulu kucing.
Maka dengan tidak berpikir panjang, aku menaruh payungku di atas kucing tersebut- menjadikannya tempat teduh. Ya, setidaknya itu adalah hal yang bisa aku lakukan agar anak kucing itu tidak kedinginan. Kemudian aku membiarkan air hujan membasahi tubuhku sampai aku menemukan tempat untuk berteduh.
Tetapi belum juga aku sampai pada tempat untuk berteduh, aku merasakan tidak ada lagi hujan yang mengenai tubuhku.
Tidak, hujannya belum reda.
Ada seseorang yang berbagi payung denganku.
Dan begitu aku mendongakkan kepala untuk melihat siapa pelakunya, aku malah terdiam sejenak, terkesima.
Rambut hitam legam, hidung yang mancung, kacamata hitam yang bertengger apik di wajahnya, dan-
Ah, aku akui aku sangat lemah dengan lelaki yang mempunyai senyum manis, dan... dimple.
Aku tidak pernah baik-baik saja.
Jantungku berdetak dengan kencang. Apakah ini adalah debar yang dirasakan setiap tokoh wanita pada cerita fiksi yang kerap aku baca?
"Sorry kalau lancang." ujarnya kemudian menggapai tanganku untuk berjalan mengikutinya, berteduh di ruko kosong.
Aku semakin tidak baik-baik saja.
Begitu kita sampai di tempat berteduh, aku diam saja. Bodoh. Harusnya aku berucap terimakasih. Tetapi sayangnya waktu itu pikiranku tidak berjalan seperti biasa.
Ada yang aneh.
"Harusnya jangan hujan-hujanan, almetnya masih harus kamu pake buat penutupan pkkmb." katanya tiba-tiba.
Aku diam dengan kikuk, bingung harus merespon dengan bagaimana.
"Orang bodoh mana yang ngasih payung ke kucing, dan rela kehujanan?" tambahnya.
Oh, dia memperhatikanku?
"Nggak, aku nggak merhatiin kamu. Tapi kamu menarik perhatianku aja tiba-tiba."
Sama, kamu juga menarik perhatianku secara tiba-tiba.
Dia bisa baca pikiran, ya?
"Apa? Aku nggak bisa baca pikiran orang." katanya seolah-olah tahu apa yang aku pikirkan.
Aku menatapnya, kemudian ia menghembuskan napasnya panjang. "Kamu terlalu kentara mikirin apa."
Dengan keberanian yang aku kumpulkan, aku berucap. "Makasih."
"No need," ia menambahkan. "Btw, kita satu almamater."
Lagi-lagi aku bingung harus merespon seperti apa.
Setelah beberapa menit aku diam dan berpikir, aku pun memberanikan diri untuk bertanya. "Semester berapa, Kak?"
"Baru masuk semester 3."
Aku kehabisan topik.
"Aksara." katanya.
Aksara?
"Namaku, Aksara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara dan Yogyakarta
Fanfiction[kim namjoon lokal story] Kak Aksa, seperti katamu dulu, mengabadikan seseorang di dalam lagu itu sebuah hal yang biasa, yang luar biasa itu ketika mengabadikan seseorang menjadi sebuah tulisan-menjadi sebuah buku. Karena berarti orang itu istimewa...