25 : Love me first, also leave me first

22 3 0
                                    

Tidak ada yang bisa aku lalukan selain menangis. Selama di perjalanan menuju ke rumah sakit, Kak Hardian tidak menjawab pertanyaanku perihal kenapa Kak Aksa sampai masuk ke rumah sakit. Membuatku harus menerka-nerka segala alasan yang paling memungkinkan. Tentu saja hanya ada alasan buruk yang ada.

Sampai di rumah sakit pun Kak Hardian tidak berbicara, hanya mengatakan satu kalimat saja. "Ikutin gue."

Lagi-lagi Kak Hardian tidak menggubris segala tanya yang aku lontarkan. Tetapi bisa aku lihat matanya yang memerah dan tampak sembab. Rahangnya juga mengeras, tetapi netranya mengisyaratkan kekhawatiran.

Kami sudah tiba di depan sebuah ruangan. Kak Hardian diam sejenak, menarik napasnya panjang, kemudian membuka pintu tersebut.

Aku tidak siap, tidak pernah siap.

Di dalam sana ada orang-orang yang aku kenal.

Kak Aksa yang terbaring dengan mata terpejam dan wajah yang tampak pucat, tetapi tangannya masih dapat bergerak mengusap surai sang Ibu.
Sedangkan Ibu Ning tengah menangis sambil memeluk kepala anaknya- Kak Aksa.
Ada Tasya yang juga menangis sambil menenggelamkan wajahnya pada kaki Kak Aksa.
Juga ada Mbak Ryuka yang menangis dalam diam sambil menyenderkan tubuhnya pada sofa.

Kacau.

Aku berjalan mendekat ke arah ranjang yanya untuk merasakan kepiluan yang luar biasa.

Mata Kak Aksa bergerak menatapku, namun dia tidak mengatakan apapun.

"Kak.... kenapa?"

Air mataku sudah tak mampu aku bendung, pandanganku terasa buram akibat air mata yang menggenang.

Tasya kemudian berseru dengan keras. "MAS KENAPA NGELAKUIN INI KE ADEK." teriaknya sambil menggoyang-goyangkan kaki Kak Aksa.

Kakiku sudah tidak kuat untuk berdiri, maka setelahnya aku terduduk di atas lantai dengan kepala yang aku tumpukan di ranjang Kak Aksa sembari memegang tangan kirinya.

Dingin.

"Bu, sakit, Bu...." lirih Kak Aksa sambil meringis menahan sakit.

Ibu Ning menggelengkan kepalanya. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar lagi udah sembuh. Nanti udah bisa pulang."

Kepalaku pening, berusaha mencerna segala kejadian yang ada.

Ditengah pikiranku yang kacau, tiba-tiba pintu terbuka dengan kencang. Ada seseorang yang masuk dengan brutal.

"WOE AKSA BAJINGAN, BANGUN LO ANJENG!" itu suara Kak Jackson.

Dia mendekat ke arahku hanya untuk melihat Kak Aksa dengan baik. "Kita belum ke Banda Neira, Sa! Kita belum namatin one piece bareng! Bangun!" Kak Jackson menangis.

Kak Aksa tidak menggubris ucapan Kak Jackson, ia kini menatap sang Ibu. "Bu, maafin Aksa kalau belum jadi anak yang baik, ya. Jagain adek, ya... buat aku... buat bapak." ujaranya dengan suara yang lirih dan patah-patah.

"Adek." Panggilan Kak Aksa tidak digubris oleh Tasya. "Maafin, Mas, ya." ia menambahkan. "Maafin Mas kalau nanti nggak bisa datang ke wisuda kamu.... maafin Mas kalau nanti nggak bisa ngajarin kamu tugas sekolah... maafin Mas kalau nanti Mas nggak bisa waliin kamu waktu nikah besok."

Aku masih belum mengerti perihal kenapa Kak Aksa berakhir disini. Tetapi hanya ada dua alasan yang terlintas. Pertama, karena Kak Aksa kecelakaan saat perjalanan pulang dari kosku. Kedua, jangan-jangan Kak Aksa benar-benar sering melakukan cuci darah.

Alasan pertama tidak terbukti karena tidak ada bekas luka apapun. Hanya ada satu alasan lagi.

"Nggak mau." jawab Tasya dengan air mata yang masih menetes dengan derasnya. "Harusnya dulu Mas Aksa nggak ngasih satu ginjalnya ke adek!" seru Tasya penuh amarah namun juga penuh linangan air mata yang mengucur deras.

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang