11 : Hancur lebur tak tersisa

15 2 0
                                    

Dalam pikiranku, jogging yang dimaksud Kak Aksa adalah jogging di taman atau di tempat yang sejuk. Tetapi ternyata aku salah besar. Kak Aksa pagi ini sudah tiba di depan kostku dengan sepeda coklat yang selalu ia pakai.

Begitu aku keluar dari kost, aku menemukan Kak Aksa tersenyum sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi.

"Jogging apaan di kota kayak gini?" kataku yang membuat dia tertawa.

"Ya nggak apa-apa dong, Na. Kan judulnya tetep jogging, jalan santai."

Lantas Kak Aksa mengajakku untuk berjalan santai. Aku hanya mengikuti di belakangnya dengan langkah yang ringan.

"Sampai mana nanti?"

"Sampai kampus."

Tanganku langsung bergerak memukul punggung Kak Aksa. "Kak yang bener aja!" ujarku sebal.

Kepala Kak Aksa bergerak menoleh ke arahku yang ada di belakangnya. "Nggak apa-apa, Na. Cuma 25 menit udah sampai kok." ujarnya dengan tawa ringan.

Aku hanya menggerutu namun tetap mengikutinya di belakang. Berbeda dengan Kak Aksa yang berlari ringan tetapi agak cepat, aku hanya berlari dengan langkah yang tidak secepat Kak Aksa sambil memandangi punggung yang tidak akan menjadi tulang punggung-ku.

Miris.

Selama kurang lebih 5 menit aku masih berada di belakang Kak Aksa, sebelum akhirnya Kak Aksa memelankan langkahnya dan mengajakku untuk berjalan di sampingnya.

"Sini di samping aku, Na." Kak Aksa menarik ku untuk maju- berdiri di sampingnya. Yang membuatku mau tidak mau mengikuti perintahnya.

"Nah, kalau kayak gini kan bisa ngobrol enak."

"Mau ngobrolin apa?"

Kak Aksa mengendikkan bahunya. "Nggak tahu, kamu aja yang nyari topik."

"Ini masuk ke dalam 10 tempat yang pengen kakak kunjungi sama aku, nggak?"

Gelengan kepala Kak Aksa adalah jawaban dari pertanyaanku.

"Kenapa?"

"Tempatnya terlalu mainstream."

Aku menghela napas kasar. "Sebenernya beberapa minggu terakhir ada hal yang mengganggu banget buat aku, Kak."

Dengan segala penuh pertimbangan, akhirnya aku berani menyuarakan pertanyaan yang sejak beberapa minggu bersarang di kepalaku.

Jika diibaratkan sebuah benang, mungkin pertanyaanku ini sudah sangat kusut.

"Apa?"

Untuk beberapa detik aku diam, tidak bersuara. Hanya untuk kembali menimang apakah aku harus menanyakan hal yang aku pikirkan atau tidak sama sekali.

Iya.

Tidak.

Iya.

Tidak.

Iya.

Tidak.

"Kakak inget nggak, kalau kakak pengen kenal sama aku?"

"Iya, kenapa?"

"Are we... emm... apa, ya?... maksudnya... aduh." tanganku bergerak memukul kepalaku sendiri. "I don't know how to ask the question in my head..."

Dengan langkah yang ia pelankan, Kak Aksa bertanya. "Kamu pengen tahu kenapa aku pengen kenal sama kamu? Is that your question so far?"

Aku mengangguk ragu. "Kayaknya..."

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang