22 : Perasaan

11 3 0
                                    

"Udah kelar?" Theo langsung bertanya begitu aku baru saja mendudukkan diri di hadapannya.

Jemi, Anjani dan senja agaknya juga ikut penasaran. Terbukti bagaimana mereka menatapku sambil seperti menunggu jawaban.

"Emang ada apaansih? apanya yang perlu di kelarin?" Anjani bertanya dengan mulut yang masih penuh akan daging ayam bakar.

"Kepo lo!" ujar Theo sambil melempar gumpana tisu ke wajah Anjani.

Anjani memutarkan bola matanya malas. "Mau make sure doang."

"Mau make sure doang apa mau jadi bahan gibahan lo sama Hardian?" pertanyaan Theo membuat Anjani langsung tertawa.

"Tahu aja. Kak Hardian kan timsesnya Kak Aksa sama si Kirana."

"Nggak jelas lu." ujarku kemudian memakan nasi goreng yang sudah agak dingin.

Jemi dan Senja menjadi orang yang selesai makan terlebih dahulu. Dengan mulut yang sudah tidak mengunyah lagi, mereka memilih untuk menjadi manusia yang mengisi keheningan meja makan kami.

"Gue masih can't believe si Kirana nggak baper sama Kak Aksa. Kayak... aduh kan semua cewe yang take attention ke Kak Aksa udah pasti tahu, ya, se-ganteng, se-pinter, dan se-menakjubkan apa seorang Aksara. Gue kalau jadi Kirana udah pasti langsung jatuh cinta, sih?" Senja mengutarakan pendapatnya yang membuatku tertawa ringan.

Jemi menjadi seseorang yang pertama menyangkal. "Semua orang punya seleranya masing-masing, nggak bisa lo samain kayak selera lo. Se-terlihat sempurna apapun seseorang, kalau nggak bisa narik perhatian kita lebih dalam mah buat apa?"

"Iya, tapi coba lo bayangin di posisi Kirana, deh. Lo emang nggak mau sama yang kayak modelan Aksara?"

"Ogah." Jemi tertawa. "Maksudnya gue ogah bayangin. Kan selera gue sama Kirana juga pasti beda, Nja. Siapa tahu selera Kirana yang kayak Theo?" Jemi tertawa.

"Kenapa jadi gue bangsat." Theo menyerukkan protes.

"Ya maksud gue selera yang kayak elo tuh bukan berarti elo, njing." Jemi tertawa kemudian menambahkan. "Ganteng, tampan, anak tunggal kaya raya."

"Aneh lu." kataku.

Dengan masih berbekal rasa penasaran, Senja bertanya lagi. "Eh sumpah, ya, Na. Kalau Kak Aksa bukan tipe lo, berarti tipe lo itu yang kayak gimana, sih? Kak Aksa tuh udah termasuk jajaran manusia hampir sempurna. Delapan puluh persen lah, ya..."

Aku menelan suapan nasi goreng terakhirku. "The one who can give me a comfort? i think??" aku mengendikkan bahuku. "I wanna spend my life with people who can makes me who I am. Maksudnya, kalau sama Kak Aksa tuh kadang gue nggak bisa jadi diri gue sendiri. He just like a dream, maka dari itu gue jadi kayak harus tampil 'sempurna' kalau sama dia."

Senja mengangguk paham, tetapi juga bertanya lagi. "Tapi kan Kak Aksa harusnya bisa nerima segala sisi dari diri lo sendiri dong, Na?"

"I know. Tapi gue yang belum bisa nunjukin sisi yang lain itu ke Kak Aksa. Lagi pula niat Kak Aksa emang dari awal udah menjorok ke pacaran, kan jadinya gue harus menjaga segela image ya kalau di deketin manusia keren kayak dia." aku melanjutkan. "But turns out, gue nggak bisa. Jadi gue memilih buat jadi sebatas teman atau sahabat aja ke dia, dengan begitu gue nggak perlu nutupin beberapa hal dari diri gue."

"Dengan begitu juga nggak menutup kemungkinan lo bakalan suka in romantic way sama Kak Aksa, kan?" itu Anjani yang bertanya.

"Gue... nggak tahu."

Sialan, kenapa orang-orang selalu membuatku menjadi ingin berpikir dua kali.

Percakapan kami terpaksa selesai karena Jemi di telefon oleh pacarnya. Theo sebagai orang yang tadi berangkat dengan Jemi, mau tidak mau membuatnya beranjak dan ikut pulang bersama Jemi. Hal yang sama juga terjadi pada Senja, ia harus bergegas membereskan barang bawaan yang akan ia bawa untuk pulang kampung besok.

Hingga kini hanya tersisa aku dan Anjani.

"Gue nggak tahu omongan gue bakalan bikin lo nggak nyaman atau enggak. Tapi, Na, hidup cuma sekali. Jangan bikin lo menyesali segala hal yang udah lo lakuin." Netra Anjani menatapku teduh. "Gue tahu masih ada sedikit rasa, jauh dan dalam di lubuk hati lo buat Kak Aksa. Selagi orang itu masih ada, hargain."

"I know. But you talk like you know something." kataku.

Anjani mengangguk. "Lo juga tahu, kok. Tapi sayangnya gue nggak punya kapasitas lebih buat ngasih tahu lo lebih jauh." ia menatapku sambil terkekeh. "Ah anjir lah, gue juga sebagai timses Aksara Kirana nggak suka banget kalau kayak gini."

Lantas tangan Anjani bergerak menggenggam tanganku. "Please, Na. Buka mata lo lebar-lebar, jangan bikin lo nyesel di kemudian hari."

"Apasih njir, lo terlalu bertele-tele tahu nggak?"

"Na, aduh, gimana ya ngomongnya." Anjani kemudian meraih ponselnya, membukanya dan menunjukkan kepadaku sebuah foto.

"Folder Kak Aksa yang isinya soal lo itu bukan bualan Kak Hardian semata." Anjani melanjutkan. "He loves you as much as he can."

"Gue nggak bisa lihat dia selebihnya seorang sahabat, Jani." kataku.

Anjani menggeleng. "Bukan nggak bisa, tapi belum bisa."

"You can't force me to love him."

Anjani diam, hingga kemudian mengangguk. "Oke, i'm sorry. Tapi inget, ya, Na. Perasaan lo cuma elo yang tahu, semuanya tergantung sama lo. Tapi kalau gue boleh jujur sih, Kak Aksa lebih ber effort daripada Theo."

Aku mengernyitkan keningku. "Lah, kenapa jadi sampai ke Theo?"

"Jemi keceplosan kemarin, katanya Theo suka sama elo." Anjani cekikikan. "Ditaksir anak tunggal kaya raya tuh."

Anjani beranjak. "Once again, perasaan lo cuma lo yang tahu. Yuk balik."

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang