26 : Selamat jalan, selamat tinggal, kesayangan!

25 3 0
                                    

Penuh, ramai.

Rumah Kak Aksa ramai sekali. Kini aku hanya duduk di pojok ruang tamu sambil memandang orang yang berlalu lalang mengatakan kalimat duka kepada keluarga Kak Aksa.

Sudah terhitung dua kali Ibu Ning tidak sadarkan diri. Pertama, saat menandikan tubuh Kak Aksa, kedua sesudah mensholatkan jenazah Kak Aksa. Tak berbeda dengan Ibu Ning, Tasya pun seperti itu. Ia malah lebih dari tiga kali tidak sadarkan diri.

Banyak sekali orang-orang yang datang yang aku rasa tidak asing. Ada beberapa dosen akuntansi, teman-teman Voli Kak Aksa, sampai Pak Panjul pun terlihat datang dengan air mata yang tumpah ruah.

Sembari menunggu acara pemakaman dimulai, aku melamun sambil memandang peti mati milik Kak Aksa.

Kak Aksa, aku menyesali waktu.

Kalau tahu aku akan kehilanganmu secepat ini, pasti aku akan menikmati setiap waktu yang aku habiskan ketika denganmu, Kak. Aku akan lebih memperhatikan lagi setiap detail apapun yang kamu lakukan. Seperti memperhatikan makanan favoritmu, hobimu, kesukaanmu, lagu favoritmu, dan masih banyak hal lagi yang sayangnya tidak aku ketahui dengan baik.

Lagi-lagi aku pikiranku melayang pada kejadian sore itu.

"Oh iya, besok jadi rayain ulang tahunnya?"

Dengan mantap, Kak Aksa mengangguk. "Iya. Nanti dresscodenya monokrom, ya. Eh, maksudnya tamunya pada pakai hitam. Nanti biar aku yang pakai putih."

Kak Aksa, bukankah seharusnya kamu tidak memilih tema monokrom untuk pesta ulang tahunmu? lihat, monokrom yang kamu maksud bukan yang begini, kan? bukan kami yang memakai baju warna hitam dan kamu yang memakai kain kafan putih?

"Btw, mau dikado apa?"

"Doa baik aja. Sama bawa bunga mawar yang banyak, ya." ia terkekeh sejenak. Kemudian netarnya menatap lurus ke depan. "Kedengaran konyol, tapi aku pengen nanti rumahku cantik."

Kak Aksa, melihat bagaimana orang-orang hadir untuk mengantarmu ke peristirahatan terakhirmu, agaknya aku yakin bahwa doa baik segera, sedang, dan selalu mengiringimu.

Jadi apakah ini maksud pintamu perihal membawa bunga merah yang banyak agar rumah terakhirmu tampak cantik? Kak Aksa, bahkan belum sampai rumah terakhirmu pun sudah banyak karangan bunga yang memenuhi teras rumahmu.

"Siapa aja yang diundang?"

"Halah, nggak diundang juga semuanya nanti dateng sendiri."

Benar, Kak. Kamu tidak perlau menyebar banyak undangan agar orang-orang datang ke rumahmu. Sebab satu lembar berita kematianmu saja mampu menarik ratusan orang untuk berakhir disini.

Kamu begitu baik, ya, Kak?

"Nanti malem aku pergi."

"Pergi kemana, deh?"

"Pergi jauh, jauh banget."

Ah, ternyata ini pergi jauh yang kamu maksud itu, ya, Kak? jauh sekali, sampai aku bingung harus mencarimu kemana lagi.

Kak, andaikan aku tahu jika sore itu adalah pelukan terakhir kita, sudah pasti aku enggan untuk melepaskannya.

Aku juga teringat kepada percakapanku dengan Ibu Ning waktu itu.

"Kamu takut kehilangan, Na?"

"Takut, Bu."

Ibu ning tampak tersenyum. "Tapi Ibu pernah baca, kalau ada yang lebih menakutkan dari kehilangan."

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang