10: Batas

22 2 0
                                    

Malam ini hujan turun sangat deras. Aku yang sudah menyelesaikan tugasku sejak tadi memilih untuk duduk di jendela kamar dan menatap derasnya hujan. Kebetulan kamarku ada di lantai 2, jadinya aku bisa menatap beberapa orang yang berlalu lalang di jalan raya.

Sudah terhitung 2 hari sejak percakapanku dengan Theo di cafe waktu itu. Aku masih memikirkannya sampai sekarang.

Sekarang sudah hampir sampai pada ujung kepastian.

Aku masih merenungi, apakah semua perasaan yang aku rasakan terhadap Kak Aksa hanyalah sebuah rasa kagum semata? atau rasa yang semakin lama akan tumbuh menjadi suka— atau bahkan cinta?

Tetapi sejujurnya sejak kejadian itu, Kak Aksa juga tidak bertanya perihal siapa Theo. Kami hanya chattingan 5-10 bubble chat saja. Itu pun Kak Aksa membalasnya lama.

Aku berdecak kemudian mengacak rambutku. Selanjutnya aku menyahut handphone di sampingku dan mencari kontak yang bernama 'Theodore akuntansi'b'

Calling

Calling

Ringing

Ringing

Ringing

"Halo? Kenapa, Na?" Theo menjawah panggilanku.

Bukannya segera berbicara, aku malah diam saja, bingung. Kini aku malah mempertanyakan perihal alasan aku menelpon Theo.

"Na? Kirana? Lo nggak apa-apa?"

"Eh? Iya... nggak apa-apa."

Terdengar suara grusak-grusuk dari sambungan kami, Theo pelakunya. "Anjir ini Jemi nggak ngebalikin charger gue."

"Lowbat, ya, Theo? ditutup aja... tadi kepencet doang kok."

Kini Theo malah tertawa. "Alasan lo jelek banget. Kalau kepencet seharusnya langsung lo matiin."

Ah sialan, aku lupa kalau yang aku hadapi sekarang adalah seorang Theodore.

"Tapi nggak apa-apa ini gue cerita?"

"Ooh mau cerita." Theo terkekeh. "Cerita apa soal Aksa lo yang oke itu, ya?"

Aku me-loudspeaker sambungan telefon kami, tanganku bertumpu sambil tetap menatap derasnya hujan di luar sana. "Bukan cerita, sih. Tapi cuma nanya."

"Nanya apa?"

"Itu... soal kagum... itu gue beneran kagum apa suka, sih?"

Lagi-lagi Theo tertawa, tetapi kali ini tawanya sangat keras hingga membuatku memutarkan bola mata malas.

"Perasaan lo ya cuma lo yang tahu, Na. Kenapa malah nanya gue?"

"Ya gara-gara lo bilang kalau fall in loge at the first sight itu silly! Makanya sekarang gue jadi mikir."

Theo terkekeh. "Sorry, tapi emang silly menurut gue. Tapi kalau soal penasaran, lo punya kendali untuk itu, Na. Lo punya kendali untuk menaruh rasa ke Aksa in romantic way, lo juga punya kendali buat jatuh cinta sama dia," Theo menambahkan. "Jadi semuanya ya terserah elo. Lo mau membuka hati buat Aksa apa enggak?"

Aku menghela napas dengan berat. "I don't know... menurut lo gimana cara yang paling nggak beresiko buat perasaan gue?"

"Membangun batas. Apa ya... lo harus tegas sama diri lo. Bukannya itu cara yang paling enak?"

"Batas gimana?" tanyaku bingung.

Pertanyaanku membuat Theo berdecak. "Ya batas, garis, tembok. Lo buat sebuah batas, kalau semisal menurut lo si Aksa Aksa itu mulai melewati batas yang lo bikin, lo harus tegas. Lo harus bertanya ke dia, kalian itu sebenernya apa."

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang