19 : What happened?

15 3 0
                                    

Ada berbagai ekspresi wajah yang aku pandang saat teman-teman sekelasku keluar ruangan siang ini. Kuduga karena beberapa hal. Pertama, ada raut wajah yang masam, murung, dan sedih. Mungkin karena mereka belum bisa mengerjakan uas dengan baik, atau karena lupa akan materi yang sudah dipelajari. Dan Anjani adalah salah satu mahasiswa yang memasang raut tersebut.

"Eh anjir sumpah ya gue nggak inget sama sekali soal nomor 3 tadi!" katanya kepada Senja.

Kedua, ada yang memasang raut wajah senang dan ceria. Kuduga karena mereka berhasil mengerjakan uas dengan baik. Senja adalah salah satunya.

"Makanya belajar tuh yang bener! jangan pacaran sama Kak Hardian mulu." kata Senja menimpali keluhan Anjani.

Ketiga adalah mahasiswa yang memasang raut wajah biasa saja. Mungkin mereka berpikir. 'Yasudah, kalau jelek kita balas di semester depan.' Salah satu yang berpikir seperti itu adalah aku. Theo juga, pria itu tampak realistis.

"Kerjain, kumpul, lupain." ujarnya.

Senja bertanya ke kami— aku, Anjani, Theo dan Jemi—  "Jawaban kalian nom—"

"Lo diem ya anjir, gue malas bahas itu." Theo memotong pertanyaan Senja yang dibalas anggukan kepala oleh Anjani.

"Iya please, jangan dibahas. Udah mending kita makan aja di kantin. Anjir lah ini panas banget kenapa ya." Anjani berdiri, berjalan terlebih dahulu untuk pergi ke kantin yang diikuti oleh kami semua.

"How's your mom? I mean, about your gift." tanyaku kepada Theo yang juga berjalan paling belakang bersamaku. Jemi, Anjani, dan Senja sibuk membicarakan perihal menu apa yang ingin mereka makan.

"She love that, thanks, ya. Gue sampe mau dikenalin ke ulama anjir, beliau mikirnya gue dapet hidayah." Theo tertawa hingga mengundang beberapa pasang mata untuk menatapnya.

Seperti biasa, aku akan mencubit pinggangnya untuk menghentikan tingkah konyolnya. "Bagus dong? Eh tapi nama lo tuh bukan nama orang islam banget deh? kayak nama orang nonis."

"Emang. Papa sama Mama gue kan mualaf, Na. Masuk islam pas gue dalam kandungan. Itu nama peninggalan mendiang kakek sebelum gue lahir yang which is sebelum Mama Papa gue masuk Islam. Karena itu jatuhnya kayak wasiat, ya? jadinya tetep dikasih nama itu." ia tertawa. "Bersyukur dah islam dari lahir."

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa, sih. Kan biar enak nanti nikahin elu-nya."

Sontak aku langsung memukul punggung Theo hingga ia meringis sekaligus tertawa. "Apasih, Sayang!" serunya yang lagi-lagi membuat beberapa pasang mata menatap kearahnya. Sialan, kami malah menjadi pusat perhatian segelintir orang yang berada di kantin.

Jemi menoleh kearah kami sambil tertawa cekikikan. "Dah sayang-sayangan aja nih."

Senja ikut menimbrung. "Love hate relationship gitu ya ceritanya?" ia tertawa kemudian menyuruh kami untuk memesan. "Pesen gih. Kalau mau hemat sepiring buat berdua aja."

Saran Senja benar-benar dipikirkan matang-matang oleh Theo. Ia merengek meminta sepiring berdua yang langsung saja aku tolak mentah-mentah. "Diem anjir, gue nggak mau sepiring berdua. Gue laper."

"Lo pesen mie level delapan? emang nggak kepedesan?" tanya Theo saat membaca tulisan pesananku.

"Nggak tahu sih, tapi gue minggu kemarin beli yang level empat biasa aja kok. Lagi pengen pedes aja." kataku sok percaya diri. Padahal juga sebenarnya aku meragukan kemampuanku memakan makanan pedas.

Theo mengangguk, kemudian meraih bolpoin di tanganku untuk menuliskan pesanannya. Mie level 4.

"Cemen lu level empat doang."

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang