18 : Incident

11 3 0
                                    

Kecanggungan tentu saja langsung menyelimutiku, Theo, dan Kak Aksa. Sungguh, aku benar-benar tidak suka suasana seperti ini, pun secara bersamaan aku juga tidak tahu bagaimana menyikapinya.

Hingga pada akhirnya Theo yang berbicara, tangan kami sudah tidak bergenggaman lagi. "Misi Kak, mau cari Mbak tadi— duh, siapa Na namanya?"

"Mbak Ryuka."

"Nah, iya, Mbak Ryuka."

Belum sempat Kak Aksa membalikkan badan untuk memanggil Mbak Ryuka, yang dicari sudah terlebih dahulu datang dari dalam.

"Eh, katanya sampai jam sebelas?" tanya Mbak Ryuka yang sepertinya memang tidak sengaja.

Aku tidak tahu apakah Mbak Ryuka menyadari kedekatanku dengan Kak Aksa, tetapi sepertinya ia tidak begitu menyadarinya. Lagipula aku juga tidak bercerita apapun tentangku dan Kak Aksa kepadanya.

"Perkiraan doang, Mbak." Theo memberikan paper bag Gucci dengan senyum jumawanya. "Neeh, gue beliin sesuai pesanan."

Sudah aku duga Mbak Ryuka akan terkejut. "Eh, anjir, gue cuma bercanda ya???"

Theo tertawa kemudian menggelengkan kepalanya. "Udah ah, ambil aja. Anggep aja sogokan seumur hidup." tangannya tetap berusaha mengambil tangan Mbak Ryuka agar mau menerimanya.

Dengan senyum dan wajah yang menggoda, Mbak Ryuka berucap. "Makasih, ya. Tapi besok-besok nggak usah begini. Eh tapi gue tetep nggak enak, njir. Soalnya gue juga tadi bohong kalau jam sembilan udah ditutup gerbangnya."

Dengan sanai Theo menjawab. "Yaudah, sih. Gue juga ikhlas." kini ia menatapku. "Masuk sana, dingin."

Belum juga sempat menanggapi suruhan Theo, tangan Theo sudah terlebih dahulu mendorong punggungku. "Duluan, ya, Mbak, Mas."

Kemudian kami berjalan menuju depan pintu kostku. Theo berbisik. "Anjir keren banget, ya, gue."

"Najis."

Ia tergelak. "Lu tau nggak, sih, kita kayak lagi ketahuan selingkuh."

"Najis juga selingkuh sama lo!" kami sudah sampai di depan pintu kost.

Aku berdiri di hadapan Theo, sedangkan ia menatapku tanpa berbicara apapun.

"Makasih."

"Harusnya gue lah yang makasih." Theo memasukkan kedua tangannya pada sisi kantong celananya. "Habis ini pasti si Aksa Aksa itu bingung, what happened between us. Tapi yaudah lah, lagian jadi cowo juga nggak gentle. Eh udah termasuk gentle sih ngutarain niat dia. Tapi kita lihat aja, habis ini dia nanya-nanya ke elo apa enggak."

"Nanya-nanya soal??"

"Soal kita lah, apalagi anjir."

Aku terkekeh. "Kayak bukan dia banget."

Theo tampak mengendikkan bahunya sebelum akhirnya jari telunjuk kanannya mendorong dahiku. "Don't you dare buat jelasin what happened between us tonight. Jangan bersikap seolah-olah lo yang butuh di hubungan kalian."

"Iyaaaaa. Udah ah, ngantuk, mau tidur."

"Halah, palingan nanti juga overthinking-in kejadian ini, ya, kan?"

"Berisik, sana pulang."

Theo tertawa, kemudian berjalan mundur. "Duluan, ya. See you lusa pas uas!"

Aku masih setia berdiri di depan pintu kost, mengamati Theo yang perlahan-perlahan mulai melajukan mobilnya kemudian pergi. Tangan yang terangkat tanda salam pamit kearah depan rumah Bu Nadia sudah menjelaskan bahwa masih ada orang disana, yang aku juga tidak tahu apakah itu Mbak Ryuka atau Kak Aksa— atau malah keduanya.

Begitu masuk, aku mulai membersihkan diri. Tidak mandi lagi, hanya cukup membersihkan muka dan berganti baju kemudian merebahkan diri di atas kasur.

Aku baru teringat jika tadi aku benar-benar tidak menyentuh ponsel sama sekali. Theo punya banyak topik sehingga aku tidak bosan dan berujung memilih menaruh atensi pada ponselku.

Ada sekitar 10 unread message dari Kak Aksa.

Kak Aksa
woe
aku ke kosmu ya
di rumah ryuka aja
bawa martabak coklat juga

Kak Aksa
nggak dibales tumben
beneran dah tidur ya?

Kak Aksa
aku otw
tapi ajakanku soal night walk tadi beneran na
paling cuma jalan-jalan disekitar kosmu

Kak Aksa
aku udah sampai

Typing.

Kak Aksa kali ini mengetik lagi, aku langsung buru-buru keluar dari roomchat kami.

Kak Aksa
aku pulang
maaf martabaknya tadi udah dimakan ryuka

Aku langsung berjalan keluar kamar, berniat menghampiri Kak Aksa yang harusnya masih berasa di halaman luar mengingat bahwa dia hanya menggunakan sepeda.

Dan begitu aku keluar, benar, Kak Aksa ada disana.

"Kak."

Kakinya yang hendak mengayuh sepeda menjadi berhenti. "Kenapa?" tanyanya, lembut seperti biasa.

Sial, aku juga bingung kenapa sekarang aku berdiri disini. Aku seketika ingat perkataan Theo tadi perihal jangan menjelaskan apapun.

Pada akhirnya setelah sekitar 1 menit diam, hanya satu kata yang terucap. "Sorry."

Kak Aksa menstandarkan sepedanya kemudian turun, berjalan pelan ke arahku. "Sorry for what?"

Melihat bagaimana tatapan teduh Kak Aksa, membuatku sangat berkecamuk, membayangkan skenario-skenario buruk yang tidak pernah sama sekali aku bayangkan.

Hatiku bimbang, menimang apakah aku harus meloloskan kalimat yang sedari tadi berputar-putar di kepalaku. Tetapi begitu melihat bagaimana segala perlakuan Kak Aksa kepadaku, pun juga bagaimana tatapan teduhnya kali ini, aku semakin mantap. Bahwa kalimat yang terus berulang di kepalaku harus aku loloskan.

"Na, ken—"

"I can't do this anymore."

Kak Aksa diam, menunggu aku menjelaskan lebih.

"I... I feel that... i can't like— no, i can't love you in romantic way..." dengan sesak, aku kembali menambahkan.."I tried... but it doesn't work. Aku nggak bisa memandang kakak lebih dari sekedar teman ataupun sahabat."

"Na, we can tr—"

"No, we can't! Because i don't want to." aku berusaha mati-matian menahan air mata.

"Na, listen, kita masih punya waktu buat mengenal satu sama lain."

"I know. Tapi tujuan kita udah beda, Kak. Kamu pengen kenal aku untuk hal yang lebih, sedangkan aku merasa ini udah hal yang cukup."

Kami diam sejenak, sebelum akhirnya Kak Aksa mengatakan hal yang malah membuatku tersulut emosi. "Karena cowo itu? cause he's a rich and i'm not that rich? cause he's so handsome and i'm not that handsome? apa karena dia bisa nganter kamu kemana-mana pakai mobil sedangkan aku enggak?" ia terkekeh. "Oke make sense, now i know that you're standard is too high. And i know that ternyata kamu orangnya kayak gitu. Nggak jauh beda sama ce—"

Belum sempat Kak Aksa menyelesaikan kalimatnya, ucapannya sudah lebih dahulu terputus karena tangan kananku yang langsung bergerak menampar pipi kanannya.

"Jaga omongan lo ya, bajingan."

Kemudian aku berjalan untuk kembali ke kostku, muak melihat Kak Aksa. Tentu saja aku menangis. Persetan dengan Aksara, aku sudah tidak begitu peduli.

Seharusnya ini berakhir biasa-biasa saja mengingat bagaimana aku menjelaskan semuanya dengan baik. Tetapi karena Kak Aksa, semuanya berantakan.

Now, what?

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang