Terhitung sudah satu minggu lebih sejak kejadian jogging minggu lalu. Pernyataan Kak Aksa masih membuatku begitu pening. Minggu lalu aku tidak menjawabnya secara langsung, tetapi Kak Aksa memberikanku waktu untuk memikirkannya.
Bukankah harusnya aku merasa senang? tetapi yang aku rasakan malah berbeda, aku merasa aneh.
Sangat aneh.
Menjadi seseorang yang spesial di hidup Kak Aksa memang pernah ada di bayanganku. Tetapi Kak Aksa yang mengutarakan pinta sepeti itu sama sekali tidak pernah terlintas di bayanganku— tidak pernah.
Aku benar-benar tidak pernah dengan sengaja memikirkan skenario jika aku berpacaran dengan Kak Aksa.
Aku hanya memikirkannya dengan spontan, seperti:
Saat melihat seorang pasangan yang bercekcok di cafe perihal siapa yang membayar, aku langsung membayangkan bagaimana jika kedua orang itu adalah aku dan Kak Aksa.
Atau saat melihat seorang pasangan tengah menikmati waktu berdua di taman fakultas, lantas aku langsung membayangkan bagaimana jadinya jika orang itu ialah aku dan Kak Aksa.
Aku menarik napas panjang. Malam ini hujan masih setia mengguyur, aku merapatkan jaket yang aku pakai sambil memandangi hujan yang turun dihadapanku.
Tadi saat perjalanan pulang dari minimatket yang tak jauh dari kosku, hujan turun dengan sangat deras. Kemudian membuatku berakhir berteduh di sebuah ruko kosong yang jaraknya tidak jauh dari kost. Handphone ku mati, dan aku tidak membawa payung sama sekali.
Sebenarnya aku sangat tidak nyaman berada disini, karena disamping ruko kosong adalah bengkel yang mayoritas isinya lelaki.
Oh, bukan mayoritas lagi. Tetapi semua yang ada disana adalah para laki-laki.
Aku semakin tidak nyaman begitu salah satunya mengajakku berbicara. Jarak kami cukup jauh, tetapi tentu saja aku tetap takut.
"Sendirian aja mbak?" ucap seorang pria yang sepertinya berusia 20 tahun dengan kumis ala remaja pada umumnya.
"Cantik-cantik gini kok keluar malem, sih?" goda yang lain. Membuat banyak dari mereka bersorak.
Aku sebisa mungkin mengacuhkan.
"Nunggu jemputan dari yang mesen mbaknya, ya??" kata lelaki yang lain.
Sial, sayangnya aku tidak punya keberanian untuk sekedar menyuruh mereka diam.
Kemudian pria yang berusia sekitar 20 tahun tadi mulai mendekat ke arahku. Ia memainkan rambutku yang membuatku berjalan sedikit menjauh.
Pria tersebut tersenyum miring. "Baru rambut doang loh?" ia kini malah mendekat dan mencengkeram erat tanganku. "Mau dianterin pulang nggak?? ngekos dimana kamu? kayaknya bukan orang sini."
Aku berusaha menepisnya, tetapi yang ia lakukan adalah semakin mengeratkan cengkramannya.
"JAWAB! BISU LO?!" teriaknya persis di depan wajahku.
Kemudian tangannya yang lain bergerak membelai seluruh wajahku sambil tersenyum dan tertawa ringan. "Cantik," ia menambahkan. "Pulang sama aku, yuk?"
Kemudian ia menatap teman-temannya. "Oit, suruh Abi kesini, bawa mobil."
Teman-temannya kemudian bersorak. "Waduh, bungkus, nih?"
"Yoi!"
Tangannya masih mencengkram tanganku, tetapi kali ini dua-duanya. Membuatku tak bisa melakukan apapun selain pemberontakan yang tidak ada gunanya.
Disini sepi, berteriak-pun juga sepertinya tidak akan berguna.
Aku menangis, yang malah membutnya semakin tertawa puas. Tangan kirinya kemudian bergerak lagi untuk membelai wajahku, tetapi kali ini lebih intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara dan Yogyakarta
Fanfiction[kim namjoon lokal story] Kak Aksa, seperti katamu dulu, mengabadikan seseorang di dalam lagu itu sebuah hal yang biasa, yang luar biasa itu ketika mengabadikan seseorang menjadi sebuah tulisan-menjadi sebuah buku. Karena berarti orang itu istimewa...