4 : Garis besar sebuah kenang

23 3 0
                                    

Jika aku hanya diberikan kesempatan oleh alam semesta untuk mendengarkan satu suara saja, maka aku akan memanjatkan pinta agar mendengar suaramu saja, Kak Aksa.

Aku memangku tanganku sambil memperhatikan bagaimana Kak Aksa membaca kasus-kasus pajak dengan suara indahnya. Mungkin jika aku tidak tahu diri, aku akan tertidur— terlelap akan suara serak lembutnya.

"Kak Aksa kalau nyanyi kayaknya bagus, ya?" kataku yang membuat ia langsung menatapku.

"Kamu mau denger aku nyanyi?" tanyanya yang aku balas dengan anggukan kepala.

"Kalau mau, sih." Aku menatap perlengkapan bernyanyi yang disediakan oleh pemilik cafe. "Tuh, nyanyi disana tuh."

"Kamu mau ngasih apa kalau aku nyanyi disana?"

Aku mengendikkan bahuku. "Nggak tahu, apa aja deh."

"Beneran apa aja?"

"Tapi jangan yang mahal, aku nggak mampu." kataku yang ia balas dengan tawa.

Kak Aksa menggelengkan kepalanya. "Nih, simak, ya." Kak Aksa menyodorkan buku yang sudah ia coret-coret kepadaku.

Kak Aksa menepati ucapannya perihal ingin mengajariku mata kuliah pajak. Padahal sebenarnya itu hanya bualanku saja, aku masih mampu untuk sekedar mengerjakannya.

Tetapi aku akan menjadi sangat mampu jika Kak Aksa yang menjelaskannya.

Maka disinilah siang ini kami berada, di sebuah cafe yang tidak jauh dari kampus. Sepertinya Kak Aksa sudah sangat akrab dengan para pegawai di cafe ini, karena begitu kami sampai tadi Kak Aksa sudah disambut dengan hangat.

"Paham, kan, Na?" tanya Kak Aksa setelah ia menjelaskan rentetan kalimat yang tidak aku perhatikan secara seksama.

Karena yang aku perhatikan dengan seksama adalah bagaimana parasnya dan suaranya.

Aku selalu lemah jika Kak Aksa memakai kacamata.

"Paham." kataku.

"Kalau gitu kerjain, nanti aku cek."

Aku menurut dan kemudian mulai mengerjakannya dengan seksama.

Satu hal lagi yang aku suka dari Kak Aksa, ia bisa mengajari seseorang tanpa membuat seseorang itu tampak bodoh.

"Kamu ngerjain sambil ngobrol bisa nggak, Na?" tanya Kak Aksa.

Aku mengangguk tetapi masih fokus pada buku yang aku kerjakan. "Bisa."

"Aku ajak ngobrol, ya?"

"Iya."

"Kamu kenapa milih masuk prodi akuntansi murni, Na?"

Aku terkekeh, dari segala jenis pertanyaan ia selalu menanyakan hal yang berbobot.

"Karena pekerjaannya menjanjikan." jawabku. "Kalau Kak Aksa kenapa milih akuntansi?"

"Disuruh Ibu, sih."

"Anak ibu banget." godaku.

Aku mendengar Kak Aksa terkekeh. "Kamu juga disuruh sama Ayah atau Ibumu nggak?"

Pertanyaan Kak Aksa membuatku tertawa geli. "Nyuruhnya gimana coba? ketemu aja nggak pernah."

"Eh, Na, maaf. Aku nggak tahu."

Kepalaku ter-angguk. "Enggak apa-apa, udah biasa aja. Maksudku, aku udah nggak se-sedih dulu buat mikirin hal itu."

"It's must be hard for you." cicitnya.

"Kalau dulu, sih, iya. Kalau sekarang mah, yaudah... kayak... dari kecil juga nggak pernah ketemu mereka, jadinya i don't have any special feeling for them."

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang