3 : Apa yang kamu tidak bisa, kak?

27 3 0
                                    

Besok pagi jadi temenin aku ke pasar ya, Na.

Begitulah pesan yang Mbak Ryuka sampaikan tadi malam. Sehingga pagi ini aku sudah berdiri di teras rumah Ibu Nadia— Ibu kost sekaligus ibu dari Mbak Ryuka, untuk menemaninya pergi berbelanja.

"Aksara tuh nyebelin banget, dimintain tolong malah nggak mau." gerutu Mbak Ryuka begitu ia keluar dan memakai sepatunya.

Lalu terdengar suara Ibu Nadia yang sedikit keras. "Bukan nggak mau, kamu kan tahu sendiri Aksara ngapain tiap 2 minggu sekali."

"Ya tapi kan biasanya hari sabtu, Bu."

Kemudian Ibu Nadia menampakkan diri sambil membawa sapu di tangannya. "Kamu nggak kasihan sama Aksara emangnya?"

"Ya Ibu juga nggak kasihan sama aku?" bela Mbak Ryuka.

Kemudian Ibu Nadia menatapku. "Ya gitu, Na. Mbak Ryuka emang bandel."

Aku hanya menanggapi dengan tawa kecil.

"Aksara aja nggak sebandel ini, loh." lanjut Bu Nadia yang semakin membuat bibir Mbak Ryuka maju 5 cm.

"Bandingin aja terus sama si Aksara." Lantas Mbak Ryuka berdiri untuk salim. "Yaudah, tapi nanti yang bagian beres-beres biar si Aksara."

Mbak Ryuka kemudian mencium telapak tangan sang Ibu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku pun turut ikut melalukan hal yang sama dilakukan oleh Mbak Ryuka kepada Bu Nadia. "Berangkat dulu, ya, bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam Kirana cantik."

"Giliran anak orang aja digituin." kata Mbak Ryuka saat masuk ke dalam mobilnya.

Baru saja aku masuk ke dalam mobil, mbak Ryuka langsung membuka suara. "Ya gitu, Na. Aksara tuh anak kesayangannya Ibu."

"Namanya juga anak cowo, Mbak."

Begitu mobil mulai berjalan, Mbak Ryuka tetap bercerita.

"Dari kecil dibandingin sama Aksa terus. Lihat aja, ya, tahun depan kalau aku nikah si Aksa nggak bakalan aku undang!"

Aku menanggapinya dengan tawa. Mbak Ryuka itu 5 tahun lebih tua dariku. Sekarang sudah bekerja menjadi owner toko fashion. Katanya, sih, tahun depan mau menikah.

"Mbak Ryuka deket banget ya sama Kak Aksa?"

Tangan Mbak Ryuka tampak bergerak mengetuk-ngetuk stir mobil. "Dulu, sih, deket banget. Tapi pas semenjak dia masuk kuliah jadi jarang interaksi."

Kemudian ia menambahkan. "Padahal dulu tuh pas kecil dia item banget loh, Na. Kurus, kerempeng, item, dekil. Gedenya malah ganteng banget."

"Kak Aksa dari dulu juga pinter, kak?"

Mbak Ryuka menggelengkan kepalanya, takjub. "Wahhh, jangan ditanya. Dari kecil juga udah jadi ajang perbandingan. Kalau kamu masuk rumahnya, tuh, di ruang tamu terpajang piala sama sertifikat-sertifikatnya dia," Mbak Ryuka terkekeh. "Kalah banget sama gue yang punyanya cuma piala juara 2 mewarnai doang. Itu aja karena pesertanya cuma 3."

Setelah beberapa detik diam, Mbak Ryuka kembali bercerita. "Dulu gue nggak suka sama Aksa, Na."

Tetapi kali ini aku melihat matanya menjadi sorot yang sedih.

"Tapi setelahnya ada satu kejadian yang bikin gue ngerasa... apa ya?? kasihan?? pokoknya gue udah nggak benci lagi sama dia."

"Kasihan kenapa?"

Mbak Ryuka tersenyum dan menggeleng. "Ada deh, bukan ranah gue buat bicara soal itu. Kalau gue nggak tahu dari ibunya aja dia nggak bakalan ngomong."

Mata Mbak Ryuka tampak mengkilap karena sepertinya ada air mata yang tak mau turun, atau mungkin— tidak ia biarkan untuk turun.

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang