21: clear

11 3 0
                                    

"ADUH YA ALLAH AKHIRNYA KELAR. LIBURAN DUA BULAN, I'M COMINGGGGG." Jemi berseru ketika keliar dari ruangan kelas. Dia adalah mahasiswa kelasku yang terakhir keluar saat mengerjakan uas terakhir ini.

Senja bergerak mendekat ke arah Jemi, kemudian membisikkan sesuatu dengan sangat jelas terdengar. "IPK, mas. IPK."

Langsung saja raut wajah menyegarkan milik Jemi berubah drastis menjadi menampilkan ekspresi yang tampak sedikit pilu. "Aduh, nggak usah dibahas deh. Semoga lebih dari tiga."

"Tiga koma lima." tambah Anjani.

"Nggak nyampe deh kayaknya gue...."

Theo terbahak kemudian berdiri dari duduknya. "Makanya lu jangan pacaran mulu anjing, udah dibilang biaya kuliah mahal juga pacaran mulu. Yuk makan yuk."

"Bebek bakat apa ayam bakar yaaa." ujar Senja.

Kami— aku, Theo, Jemi, Anjani dan Senja kini memang sudah sangat dekat. Sudah biasa kemana-mana bersama. Sampai-sampai ibu kantin sudah hafal kalau satunya tidak ada.

"Gue nyusul, ya. Pesenin nasi goreng aja." kataku yang membuat mereka bertanya-tanya.

"Mau kemana?" tanya Theo.

"Ketemu Kak Aksa. Bentar kok, bentar banget. Nanti gue susul." aku berjalan mundur. "Level 2 aja ya pedesnya. Dadaaah." pamitku kemudian berjalan cepat menuju taman fakultas bagian selatan.

Semalam Kak Aksa menghubungiku, bertanya apakah aku ada waktu luang. Katanya dia ingin menjelaskan sesuatu sekaligus meminta maaf lagi secara langsung. Aku juga mengiyakan ajakannya, karena bagaimanapun juga masalah tidak akan pernah selesai jika aku terus kabur dan menghindar.

Lagipula masalahku dan Kak Aksa bukan masalah besar yang harus membuat kami menjaga jarak secara lebih. Bukankah hal-hal kemarin adalah bentuk kesalah pahaman semata?

Kak Aksa sudah ada disana. Duduk dengan apik sambil membaca buku. Semua orang yang melihat tampaknya akan membatin karena tertarik.

Tapi ada hal yang sedikit aku sayangkan. Debar yang biasa aku rasakan ketika melihat Kak Aksa sudah tidak aku rasakan lagi. Hilang. Mungkin aku memang sudah benar-benar melihat Kak Aksa sebagai sosok teman, atau bahkan sahabat.

"Udah nunggu lama, kak?" tanyaku saat aku sudah akan duduk dihadapannya.

Kak Aksa mendongak, kemudian menggeleng dan menutup bukunya. "Oh, enggak kok."

Hening, canggung.

"Na, gue berniat minta maaf atas segala kesalahan yang gue lakuin ke elo tempo hari yang lalu."

Elo gue.

Mendengar permintaan maaf Kak Aksa membuatku menganggukan kepala. "Iya, aku juga minta maaf udah nampar kakak malem itu."

"It's oke. I deserve that slap." ia tertawa. "Waktu itu gue terlalu kaget soal pernyataan lo, pun juga timingnya pas banget. I don't know lo bohongin gue atau gimana waktu lo bilang kalau lagi males pergi keluar, tapi yaudah, udah lewat. Poin pentingnya juga bukan itu, sih."

Kak Aksa menghela napas. "Still, gue nggak bisa maksain perasaan orang. So i want ask you again, apakah lo bener-bener ngerasa kalau kita cocok sebagai temen aja, Na?"

Tak butuh waktu banyak untuk aku mengangguk dan menjawab. "Iya. At first, gue sedikit menaruh rasa ke elo, kak. Gue pikir itu rasa suka yang, you know... in romantic way. Tetapi selama berjalannya waktu, gue menyadari kalau itu cuma rasa kagum dan rasa suka yang gue rasain nggak mengarah kesana." aku menambahkan lagi. "Gue pikir kita bakalan cocok menjadi seorang sahabat. How bout you?"

Kak Aksa mengangguk. "Yeah, i think so." netranya menatapku teduh. "So, clear, ya? kita jadi sahabat sekarang?"

Aku tertawa kemudian mengangguk. "Iya."

Lega rasanya, meskipun ada sedikit rasa yang aneh, tetapi sudah semestinya aku merasakan kelegaan seperti ini.

Ponselku berbunyi, ada panggilan telepon dari Theo. "Nasi goreng lo udah mateng. Kalau masih lama nggak apa-apa, cuma takutnya keburu dingin aja." kata Theo tanpa salam.

"Iya, otw." kemudian aku memutuskan sambungan dan langsung menatap Kak Aksa. "Gue duluan ya, Kak. Nasi gorengnya udah mateng."

Kak Aksa mengangguk dan tangannya memberikan gestur mempersilahkan. "Hati-hati. Btw lo masih hutang 6 tempat ke gue. Kayaknya."

Mendengar ucapan Kak Aksa membuatku sedikit tertawa. "Atur aja kapan. Lagian ini juga mau libur dua bulan."

"Oke. Tapi nggak apa-apa emang? kalau cuma berdua? just in case cowo yang kemarin sama elo marah."

Lagi-lagi aku tertawa. "He's not that type of guy." aku berdiri, kemudian pamit dan berjalan pergi.

Di perjalanan aku menyadari bahwa kalimatku terakhir jelas terdengar ambigu. Tapi sebetulnya aku juga tidak punya alasan untuk menjelaskan lebih rinci kepada Kak Aksa, kita sudah tidak memiliki tujuan yang sama. Jelas, semuanya sudah berakhir.

Keputusanku sudah bulat, bahwa Kak Aksa hanyalah sebatas sahabat. Tidak lebih.

Dan kupastikan tidak akan pernah lebih.

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang