9 : Denial

26 3 0
                                    

Sudah hampir 2 minggu berlalu sejak pergi ke pantai bersama Kak Aksa, setelahnya kami jarang bertemu lagi. Katanya dia sedang fokus mengerjakan sesuatu. Aku tidak tahu dia sedang mengerjakan apa, aku juga tidak berniat untuk bertanya.

Sore ini sebenarnya Kak Aksa ingin mengajakku pergi ke Gramedia lagi, tetapi karena aku satu kelompok dengan manusia-manusia tengil setengah mati, jadinya sore ini aku berakhir duduk di salah satu kursi cafe bersama Jemi dan Theo— manusia tengil yang aku maksud.

Kerja kelompok hanyalah kiasan belaka, karena sebenarnya yang mengerjakan hanyalah aku saja. Keduanya sibuk membicarakan hal yang tidak berguna.

"Katanya lo lagi deket sama si Kak Aksa, Na?" Theo bertanya sambil menikmati jus melon yang ia pesan untuk kedua kalinya.

"Kata siapa?"

"Kata-nya."

Persis sekali dengan Kak Aksa. Menyebalkan.

Jemi tertawa ringan. "Tapi agak mustahil ya kalau modelan Kak Aksa mau sama elu? jomplang."

Aku berdecak. Untung saja aku sudah paham bahwa perkataan mereka yang seperti itu merupakan bagian dari humor mereka. Maka mau tidak mau aku harus mengimbanginya.

"Modelan kayak Jennie Blackpink gini kok dibilang jomplang, sih?"

Theo tertawa hingga tersedak air liurnya sendiri. "Iya deh, si paling Jennie Blackpink." Theo kemudian semakin merapatkan duduknya kepadaku. "Kalau mau deket sama si Bang Aksa, minta tolong sama si Jemi tuh."

"Emang gue siapanya Bang Aksa, njir!" Jemi berseru.

Theo menatap Jemi dengan mata yang memincing. "Lah, katanya ibunya Bang Aksa sering beli sayur di warung nenek lo!"

"Ya kan cuma sebatas itu doang, nyet!"

"Iya maksud gue tuh, si Kirana lo ajakin aja jualan di warung nenek lo. Siapa tau kan bisa ketemu si Aksa Aksa itu."

Jemi kini menatapku. "Lo mau, Na?"

"Enggak lah, ngapain?"

Kemudian Jemi beranjak dari duduknya. Ia mengambil handphone dan segala hal yang ia bawa tadi.

"Gue cabut dulu, ya. Mau jemput pacar. Nanti kalau tugasnya belum selesai, kirim ke gue aja."

"Kalau dikirim ke elo, emang lo mau ngerjain?" tanya Theo dengan tatapan nyalang.

"Kagak, cuma gue suruh kirim ke gue aja, sih." Jemi tertawa kemudian berjalan ke luar cafe.

Aku kemudian menggeser laptop di hadapanku ke arah Theo. "Terusing dong, pegel."

"Gue juga pegel."

"Theo!"

Theo tertawa ringan setelahnya ia mengambil alih perkejaan kelompok kami.

Handphone Theo bergetar, ada notifikasi masuk.

"Siapa, Na?" Theo bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari laptop dihadapannya.

Mataku menatap Handphone Theo yang ada di sebelahku, Jemi mengirim pesan.

Jemi
Wkwkwk gue lupa njir
Kan kita tadi berangkat barengan ya
Motor lu gue bawa
Nanti lu balik sama si Kirana aja

"Sialan." kata Theo begitu aku selesai membacakan rentetan pesan yang dikirim oleh Jemi. "Gue juga lupa kalau gue tadi boncengan sama dia."

"Kalian itu temen dari kecil?"

Dengan mata yang masih fokus pada laptop dihadapannya, Theo mengangguk. "Dari sd kelas 4. Soalnya gue pindah ke Jogja ya pas kelas 4. Terus tetanggaan sama bekantan satu itu."

Aksara dan Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang