Sudah sedari pagi Jimin meninggalkan kamar hotel, pria itu memutuskan untuk mereservasi satu kamar lagi dengan biaya cukup besar karena terus terfikir bagaimana kenyamanan Heejin. Pihak hotel yang terus terkena desakan setiap tiga puluh menit sekali yang dilakukan Jimin dengan menghubungi staff membuat mereka terpaksa memberikan arahan untuk penghuni sebelah agar segera membersihkan barang bawaan. Lelaki Park itu tak lupa memberi uang kompensasi tersendiri untuk penghuni yang ia paksa untuk keluar, padahal Heejin sudah berkata bahwa ia baik-baik saja.
"Jiu ingin jalan-jalan di luar sambil menunggu Ayah Jiu?" selepas membasuh diri dengan bantuan pengasuh yang entah kapan di hubungi oleh Jimin, mereka bertiga memutuskan keluar hotel tepat pukul sembilan pagi.
Lift bergerak turun dengan cepat, langkah kaki riang Park Jiu dengan senyum lebar manis membuat Heejin ikut melebarkan bibir. Sampai pada taman dekat hotel, mereka memutuskan untuk bermain ayunan.
"Baiklah waktunya bermain ayunan! Jiu harus pegangan yang erat, nanti kalau Jiu terbang menghilang bagaimana?"
"Tebang bagimanya?"
"Jiu dibawa kupu-kupu karena mereka mengira Jiu bunga yang indah." mereka tertawa riang, namun sejenak Jiu terdiam seperti memikirkan sesuatu, "Ada apa Jiu? Lelah?"
"Ka Heejin."
"Ya?" merasa dipanggil, Heejin bersimpuh di depan Jiu yang tengah duduk di ayunan. Tidak biasanya gadis kecil ini memanggil Kak, dia biasanya selalu memanggil Mommy meskipun sudah berulang kali dilarang oleh Jimin.
"Tidak bicaka ka Heejin jadi Ibu Jiu?" raut wajah sedih Putri Jimin ini membuat Heejin melipatkan kedua bibir, ia mengerti betul bagaimana Jiu yang merindukan sang Ibu. Di umurnya yang masih kecil dia pasti menginginkan seseorang yang dapat memberikan sesuatu yang tidak bisa di berikan Jimin walaupun lelaki itu telah berusaha semaksimal mungkin agar putrinya tidak kekurangan kasih sayang apapun meski ibunya telah tiada.
"Jiu merindukan Ibu?" halus jemarinya mengusap pipi tembam yang begitu lucu.
"Lindu, tapi nanti Daddy cedih jika Jiu tanya Ibu." jawabnya semakin menunduk.
"Astaga Jiu kau tidak boleh memendam perasaan dewasa seperti itu, kau bukan di umur yang tepat untuk memendam sesuatu. Ayah Jiu tidak masalah jika Jiu bilang rindu pada Ibu, ayah Jiu juga tidak akan sedih karena ada Jiu disamping nya. Jadi tidak masalah menanyakan Ibu kepada Ayah, Jiu."
"Jiu inin ka Heejin benar-benar jadi Mommy Jiu—"
"Tidak boleh!" kalimat itu terputus, dari jarak jauh pun suara berat yang cukup serak itu dapat Heejin kenali dengan mudah. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan. Ia hanya tidak siap karena harus secepat ini bertemu sang pemilik suara yang semakin mendekat setiap langkah yang mengikis, "Kau anak kecil siapa berani menyuruh istriku menjadi ibumu?"
"Jungkook?" berdiri dengan susah payah karena keringat dingin mulai menguar, Heejin menatap lurus pada presensi lelaki yang masih berstatus sang suami dengan lekat.
Tubuh itu terbalut jas formal abu-abu yang rapi, tetapi mau dilihat bagaimana pun Jungkook terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Ah benar, karena dirinya lah sampai lelaki itu dalam kondisi tidak baik seperti ini.
"Sudah lama tak bertemu Jeon Heejin."
***
Pengasuh membawa Jiu pergi setelah ketakutan dan ditenangkan oleh Heejin, mereka kini duduk di masing-masing ayunan dengan keterdiaman yang membunuh. Keheningan dari Jungkook sendiri sudah membuat Heejin ingin segera pergi dari sana, lelaki Jeon itu sangat menakutkan kalau marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HYPIUM
FanfictionJeon Jungkook Dia benar, aku yang memulai semuanya. Aku yang mengencarkan segala hal untuk menuntut keadilan adikku. Tapi urusan jatuh cinta yang kami rasakan. Semua tidak pada rencana. Aku yang membutuhkan dia, dan dia yang menginginkan aku.