Chapter 10: Hiraya Manawari.

10 1 0
                                    

Chapter 10: Hiraya Manawari.


"The feeling of hopefulness that something will come true."

___________

Halwa menghirup udara Jakarta yang penuh akan polusi setelah menapakkan kakinya di bandara Soekarno-Hatta. Ia berjalan dengan anggun sembari menyeret koper berisi pakaian serta beberapa makeup dan skincare. Berjalan keluar bandara untuk mencari taksi online yang sudah ia pesan. Setelah menemukan taksi online yang ia pesan, kakinya melangkah untuk menuju taksi tersebut dan sopir taksi membantunya untuk memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.

Tangan Halwa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan setelah tertiup angin saat akan masuk ke dalam mobil. Penampilannya bak pulang dari rumah duka dengan kemeja panjang polos hitam serta celana kargo hitam. Ia melihat ke arah sepatu kets-nya yang berwarna hitam itu sejenak karena kakinya terasa kesemutan. Kemudian ia memasuki mobil dan meluruskan kakinya sembari menyadarkan punggungnya pada kursi penumpang.

Butuh drama panjang bagi Halwa untuk bisa sampai di Jakarta. Seperti biasanya, ayahnya menghalanginya namun dengan bantuan Freddie, ia bisa sampai di sini. Freddie tak hanya atasannya yang sudah memberikan kesempatannya untuk berkarir di dunia digital ini. Bagi Halwa, Freddie seperti kakak laki-laki yang ia dambakan kehadirannya selama ini.

"Jakarta polusinya tebel banget, ya Pak. Tadi di pesawat, gak kelihatan biru tapi keruh karena polusi." Halwa membuka percakapan dengan sopir taksi untuk sekedar berinteraksi dengan orang baru.

Sopir taksi tersebut berdecak kemudian menggelengkan kepalanya, "Waduh, polusi di sini emang parah Neng. Ini masih lumayan membaik daripada kemarin-kemarin yang pekat banget." Keluhan sopir taksi tersebut sama seperti keluhan dari beberapa orang yang ia dengar saat antre membeli kopi tadi.

"Saran saya, sering pakai masker kalo di luar ruangan, Neng. Antisipasi biar paru-paru gak terlalu parah kena polusi," lanjut sopir tersebut sembari tetap memperhatikan jalanan padat di depan. "Ini Neng asalnya dari mana," tanya sopir tersebut sembari menekan klakson karena ada motor yang meliuk di depan untuk menyalip.

"Surabaya, Pak," jawab Halwa sembari membenarkan posisi duduknya.

"Istri saya dulu pernah kerja di Rungkut Industri situ Neng sebelum pindah ke Jakarta. Istri saya dari Lamongan dan sekarang tinggal di Jakarta sama saya." Cerita sopir taksi dengan nada bahagia. Entah karena bertemu dengan seseorang yang berasal dari Jawa Timur, sama dengan istrinya atau ada hal lainnya.

Halwa mengangguk, "Rungkut emang selalu jadi tujuan buat dapat kerjaan, Pak. Dulu saya sama teman mau ngelamar di pabrik daerah Rungkut situ tapi gak jadi." Ia yang introvert pun berubah menjadi manusia sosial yang bisa berinteraksi dengan orang asing.

"Pabrik mah berat Neng. Kalo gak kuat tenaga sama mental, bakal kebating. Tapi ya, namanya cari duit ya Neng, pasti ada aja tantangannya."

Apa yang dikatakan sopir taksi barusan memang benar. Kerja dimana pun, pasti akan mendapatkan tantangan. Fisik dan mental juga diuji. Dunia kerja memang untuk orang-orang yang kuat, kuat untuk bertahan demi memperoleh sesuap nasi. Jangankan di pabrik, di tingkat sekolah saja persaingan antara sesama guru juga sangat kentara. Dimana - mana, pasti ada yang bermuka dua dan penjilat itu nyata. Bahkan, orang yang terkenal agamis sekali pun, juga melakukan hal bobrok juga di dunia kerja. Itu semua demi mendapatkan atensi dan jabatan.

"Orang yang berwajah malaikat, punya hati iblis dan orang berwajah iblis nyatanya berhati malaikat. Kadang yang kita lihat agamis pun, hanya kedok untuk menutupi perilaku buruknya." Entah kenapa, ia merasa seperti curhat colongan dengan sopir taksi. Mengutarakan isi hatinya terhadap rekan kerjanya di kantor dulu. Sekaligus atasannya yang terlihat agamis namun sangat narsistik.

DreeblissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang