Chapter 31: Epoch.

9 0 0
                                    

Chapter 31: Epoch.

''A particular period of time in history or a person's life."

________

"Maaf, kalo kita lancang. Terutama aku, maaf karena udah baca buku harian kamu. Buku yang harusnya tetap menjadi rahasia kamu pribadi. Kamu boleh kecewa dan marah sama aku."

Hilmi sudah siap untuk menerima amarah dari Halwa setelah ia bercerita jika telah membaca sebagian buku harian Halwa. Ia juga meminta maaf atas dirinya dan juga Freddie. Ia siap menerima konsekuensi apa pun karena telah lancang dan melanggar batas. Apa pun alasannya, tak ada pembenaran untuk itu karena buku harian bersifat pribadi. Boleh di baca asal mendapatkan izin dari si pemilik.

"Kamu gak capek baca sepuluh buku itu?"

Kepala Hilmi yang tertunduk lesu itu pun terangkat. Ia menatap Halwa yang menanti jawaban darinya. Perempuan itu tak terlihat marah, justru lelah. "Maaf, aku bacanya loncat-loncat karena aku gak sanggup. Hati aku sakit banget, aku nangis dan marah."

Jemari Halwa tiba-tiba menuju letak dimana hati Hilmi berada. Membuat Hilmi terkejut sekaligus menatap penuh tanya. Terlebih, jantungnya berdegup sangat kencang karena sikap Halwa.

"Maaf ya, kisah aku udah bikin mas sakit," ucap Halwa dengan lirih. Suaranya begitu serak dan pelan. Sangat menyakitkan hati.

"Sayang, aku minta maaf." Hilmi kembali mengucapkan maafnya sembari menghapus air mata Halwa yang menetes lembut.

Halwa menatap Hilmi dengan mata berlinang air mata, "Mas, aku boleh minta pelukan kamu gak?"

Lengan kokoh Hilmi merengkuh tubuh lemah Halwa. Membawa kepala kekasihnya itu untuk bersandar pada pundaknya. Mengelus lembut punggung yang bergetar karena tangis yang begitu dalam. Rasa sakit yang Halwa rasakan begitu dalam dan akan membekas selamanya. Bagaimana caranya ia memulihkan hati yang telah terluka itu. Hati yang di lukai oleh cinta pertama Halwa. Ia takut jika Halwa ragu akan dirinya karena trauma ini. Ia tak ingin kehilangan Halwa karena Halwa sudah melekat di dalam jiwanya.

Ia akan mempertahankan Halwa dan cintanya. Seperti janjinya, ia akan memberikan kebahagiaan serta rumah yang hangat untuk Halwa. Membawa kedamaian dalam hidup perempuan yang ia kasihi tersebut.

"Mas, terima kasih sudah mau mencintai dan menerima segala buruknya hidup aku," lirih Halwa yang membuat Hilmi menggeleng dan air mata itu turun dari pelupuknya.

"Hidup kamu tidak buruk dan ini bukan salah kamu. Setiap anak, tak pernah mau hidup seperti ini dan kita gak tau akan terlahir di keluarga seperti apa. Ini bukan salah kamu, sayang." Hilmi tau, jika dalam lubuk hati Halwa, pasti tengah menyalahkan dirinya sendiri. Tulisan akan menyalahkan diri sendiri itu banyak ia temui dalam buku harian Halwa. Jadi, ia meyakinkan Halwa jika ini semua bukan salahnya.

Tiap kali tubuhnya merengkuh tubuh lemah Halwa, ia berharap, energi dalam dirinya bisa menjadi kekuatan untuk Halwa. Kekuatan agar kekasihnya itu percaya bahwa ia bukanlah sebuah aib atau apa pun itu. Ia adalah perempuan hebat yang begitu indah dan luar biasa. Entah apa masalahnya, entah di mana akar masalahnya, Halwa di siksa begitu keji sejak perempuan itu menginjak usia enam tahun.

Ia tak dapat membayangkan betapa hancur Halwa di usia enam tahun saat pertama kali mendapatkan cambukan dari ayah-nya. Sosok yang seharusnya mengasihi dan menyayanginya. Figure yang seharusnya menjadi cinta pertama anak perempuannya bukan sosok monster yang menciptakan trauma panjang dan mendalam pada putrinya.

Demi Tuhan, Hilmi tak bisa menahan diri lagi. Ia akan menikahi Halwa secepatnya, setelah perempuan ini pulih dari sakitnya. Setelah itu, ia akan membawa Halwa pergi jauh dari sumber traumanya.

DreeblissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang