Chapter 30: Pygalgia.

9 1 0
                                    

Chapter 30: Pygalgia.

"A pain in the ass, literally."

_________

Jemari Hilmi menelusuri wajah ayu Halwa, perempuannya itu belum siuman. Perempuan cantik itu nampaknya masih ingin beristirahat lebih lama lagi. Membuat Hilmi cemas karena ia takut kehilangan sang puan. Ia terus melantunkan do'a kepada Sang pemberi hidup agar kekasihnya itu kembali membuka mata dan sembuh. Ia ingin Halwa sembuh karena ia sudah menyiapkan kejutan manis untuk sang puan. Kejutan yang bisa menyelamatkan Halwa dari mala petaka.

Pikiran Hilmi mengawang akan pembicaraannya dengan Freddie tiga jam yang lalu. Dimana, Freddie memberikan sepuluh buku harian milik Halwa kepadanya. Buku harian yang di ambil Freddie dan Laura dari kamar Halwa. Buku itu bisa menjadi bukti akan kekejaman ayah Halwa selama ini dan buku itu harus di simpan dengan aman. Buku itu bersifat privasi jadi, buku itu di berikan kepada Halwa dan Hilmi harus menjaga buku itu juga.

"Maafin aku sayang, buku harian kamu udah kita baca sebagian dan rasanya sakit banget. Aku sakit, kita sakit saat tau semuanya." Hilmi tak sanggup membaca sepuluh buku itu. Ia membacanya dengan cara meloncat-loncat dan ingin mencari cerita bahagia dalam buku itu tapi belum menemukannya.

Satu fakta yang membuat Hilmi terdiam selama satu jam dalam tangisnya saat ia membaca bagian buku harian, dimana Halwa akan mengakhiri hidupnya. Sebanyak lima kali perempuan itu akan bunuh diri namun selalu gagal dan tak pernah berhasil. Terakhir, saat di tolong oleh Freddie dan kekasih Freddie. "Sayang, hidup kamu berat banget. Aku gak sanggup juga kalo berada di posisi kamu. Tapi, kamu hebat karena bisa bertahan sampai detik ini."

"Bertahan sekali lagi, ya. Kali ini sama aku. Kamu gak sendirian lagi. Ada aku dan orang-orang yang sayang sama kamu." Hilmi menghapus air matanya lagi karena begitu sakit. Ia tak bisa melihat Halwa terus terbaring seperti ini. Sudah dua hari dan belum siuman. Sangat menyesakkan untuk Hilmi.

Pintu kamar rawat inap di ketuk, Hilmi berdiri dari duduknya. Mungkin dokter akan memeriksa kondisi Halwa. Namun, kedua matanya menyipit bingung dengan seorang nenek yang memasuki kamar Halwa. Nenek itu tak sendiri, melainkan bersama seorang ibu yang usianya mungkin sama dengan usia ibunya.

"Saya adik almarhum ibu-nya Halwa dan ini nenek-nya," kenal perempuan itu dan Hilmi langsung salim pada dua perempuan itu.

"Saya calon suami Halwa dan maaf, saya belum tau tentang keluarganya Halwa karena dia belum sempat cerita." Ia tau, ia belum resmi menjadi calon suami Halwa dan Halwa juga belum setuju untuk itu. Tapi, ia tetap mengaku seperti itu karena itu caranya melindungi sang puan.

Hilmi membimbing dua perempuan itu untuk duduk di kursi sebelah bangkar Halwa. Sedangkan ia berdiri karena kursi hanya ada dua. "Sudah dua hari belum siuman," ucap Hilmi lemas.

Dua perempuan itu menangis. Mereka menangis menatap Halwa yang masih terjaga dalam lelapnya. Terlihat sangat sakit dan penuh kebencian di sana. Bukan, tatapan kebencian itu bukan untuk Halwa. Ada kekecewaan dan kecemasan mendalam dari kedua perempuan yang selaku nenek dan bibi dari Halwa itu. Membuat Hilmi bertanya-tanya, dimana mereka saat Halwa kesakitan selama ini dan kenapa baru muncul sekarang.

Tapi, ia tau apa soal keluarga Halwa. Ia hanya orang asing yang baru menjabat sebagai kekasih Halwa namun sudah bersikap seperti calon suami Halwa.

"Saya tau dari Freddie kalo Halwa di bawa ke rumah sakit. Selama ini, kami di pisahkan dari Halwa oleh ayah-nya dengan alasan yang kami tidak pernah tau." Cerita bibi Halwa kepada Hilmi sembari menghapus air matanya.

"Dari mbak yu nikah sama ayahnya Halwa, kita sudah dipisahkan. Terlebih, saat mbak yu meninggal pun kami tidak diberi tau dan kami baru tau setelah tujuh hari. Itu pun dari orang lain yang memberi tau."

DreeblissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang