Chapter 29: Avenoir.

6 1 0
                                    

Chapter 29: Avenoir.

"The desire to see memories in advance."

________

"Hilangin kebiasaan baru makan kalo perut terasa peri. Kamu harus makan teratur dan kurangi kafein."

"Aku bakal kirim sarapan tiap hari karena aku tau, kamu selalu telat sarapan. Biar kamu gak perlu masak sarapan lagi."

"Aku juga bakal terus mantau jam makan kamu karena kamu ini bandel, sering telat makan terus."

"Satu lagi, aku gak mau kamu stres karena hal apa pun, harus bahagia. Nanti kalo sedih, langsung bilang dan kita cari bahagia bareng-bareng."

"Gerd kamu kambuh itu karena stres. Pikiran kamu berantakan, jadi nanti langsung cerita. Kita rapikan bersama hal-hal yang berantakan dan bikin kamu kepikiran itu."

Halwa terus mengingat pesan-pesan Hilmi dan setiap hari selalu di ingatkan untuk makan. Tiap pagi pasti ada kiriman sarapan dari Hilmi dan ia merasa sangat tersanjung akan perhatian kekasihnya tersebut. Untuk balasannya, biasanya ia mengirimkan makan siang atau pun camilan untuk Hilmi. Rutinitas mereka adalah saling tukar makanan.

Kini, perut Halwa terasa sangat peri. Ia lapar, ia haus dan ia ingin minum obat. Tapi, ia di kurung dalam kamar bahkan kedua ponselnya di sita oleh ayahnya. Ia tak bisa menghubungi siapa pun. Terakhir, ia izin pulang ke Surabaya kepada Laura dan Freddie melalui pesan singkat saat ia sudah berada di halaman rumahnya. Saat ia masuk, ia langsung di sambut tamparan keras oleh ayahnya.

Uang, ponsel dan beberapa barangnya di ambil oleh ayahnya. Ia sekarat di rumah dan di kunci dalam kamar. Hanya boleh keluar untuk wudhu setelah itu kembali ke dalam kamar. Bahkan untuk minum pun, tak di izinkan. Jadi, saat mendapatkan kesempatan ke kamar mandi, ia meminum air kran, meski rasanya tak enak. Yang terpenting, tubuhnya terisi air agar bisa bertahan.

Ia rindu Hilmi, ia belum sempat membalas pesan dari kekasihnya itu. Ia ingin kembali ke Jakarta, bersama Hilmi dan keluarga Hilmi. Ia ingin di peluk hangat oleh bunda dan ia ingin di ajak ngobrol hangat oleh ayah Hilmi. Ia rindu itu semua. Ia rindu akan rumahnya yang sebenarnya. Ia ingin pulang ke Jakarta, hidup bersama Hilmi dan keluarganya lagi.

"Bu, Halwa salah apa sampai ayah jahat banget ke Halwa." Isak Halwa sembari memeluk dirinya sendiri sembari menahan haus dan peri di perutnya.

"Dulu perasaan ibu ke ayah gimana? Rasanya ibu saat jadi istri ayah dulu seperti apa? Ibu dulu waktu hamil aku bahagia atau sedih, bu?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus Halwa lontarkan secara berurutan dan tak pernah mendapatkan jawaban.

Sejujurnya, ia ingin bertanya dan mengutarakan sakitnya kepada keluarga. Tapi, rasanya percuma karena ia harus memahami karakter ayahnya. Semuanya bilang begitu dan akan menyuruhnya untuk bersabar. Bersyukur masih punya ayah dan masih di beri kehidupan. Sekali ia pernah cerita dan jawabannya seperti itu. Hingga setelah itu, ia memilih diam dalam sekarat.

Ia berjalan, bermaksud untuk membereskan beberapa barang berharga yang akan ia bawah ke Jakarta. Dulu, ia tak sempat beberes dan sekarang kesempatan bagus untuk mengamankan semuanya. Meski perutnya begitu peri, ia menahannya dan ia mengambil buku hariannya. Kedua matanya meneteskan air mata lagi. Hatinya begitu remuk dan hancur. Dalam buku-buku itu, ia menyimpan semua rahasia hidupnya.

"Aku harus bisa keluar dari sini karena ada jadwal beberapa hari lagi. Aku gak mau sakit, aku harus bertahan. Aku juga harus ketemu sama Mas Hilmi." Ia menghapus air matanya dan bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka.

Ibu tirinya masuk ke dalam kamar dengan membawa makanan dan minuman. "Makan ya, dari kemarin kamu belum makan sama minum," ucap ibu tirinya dengan lembut dan menahan tangis.

DreeblissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang