27) Care

174 13 10
                                    

"Gue udah nggak punya siapa-siapa di sini, Zar," Jeff arahkan pandangannya pada jumantara, "Jadi, buat apa gue hidup di kota ini?"

Jeff dan Hayzar duduk di tepi kawasan pasar malam. Di sebuah sudut yang lindap, tak sampai tersinar bahkan oleh cahaya lampu teplok milik tukang ronde yang temaram.

"Itu alasannya lo mau jadi pilot?" mungkin memang hanya itu yang bisa Hayzar tanyakan. Penjelasan Jeff terlalu abu-abu serta terasa tak familiar baginya.

"Mungkin akan kedengeran klise, sih, Zar. Tapi ada satu alasan yang dari dulu bikin gue pengen jadi pilot."

"Gue langsung kepikiran pengen jadi pilot, dari awal gue lihat mama sama papa berantem hebat, tepat di hari ulang tahun gue," Jeff mulai merangkai kata, "Waktu itu, papa pulang awal ke rumah, karena kita rencananya mau makan malem bareng di restoran. Itu tuh emang tradisi keluarga gue. Jadi, setiap ada yang ulang tahun, malamnya, kita pasti pergi makan malam bareng. Tapi di tahun itu, mama gue malah pergi dari rumah, nggak tahu ke mana, sampai reservasi restorannya batal karena kita udah mundur lima jam dari jam reservasi awal. Hampir tengah malem, gue sama papa akhirnya masak mie instan berdua di rumah," Jeff terkekeh, miris dengan kisahnya sendiri.

Hayzar menegak teh dinginnya sembari terus menetapkan fokus pada si sumber suara.

"Habis makan, gue udah mau tidur di kamar, tapi tiba-tiba, gue denger ada suara papa sama mama ngobrol di luar kamar gue. Akhirnya gue bangun, sengaja jalan ke arah pintu pelan-pelan supaya bisa denger apa yang lagi mereka omongin. Ternyata, mama lupa hari itu ulang tahun gue. Mama pergi dari pagi, jadi belum ngucapin selamat juga ke gue. Dan tahu, nggak, apa yang lebih bikin kaget? Papa udah hubungin mama dari jam sepuluh pagi, tapi mama nggak bales sama sekali," ujar Jeff, bibirnya menyunggingkan senyum getir, "Gue masih inget banget, mama teriak-teriak nyalahin papa karena papa nggak paham kalau mama pengen healing. Mama capek ngurus gue. Ngurus gue, Zar, anaknya sendiri. Di umur sepuluh tahun, gue bisa ngapain lagi selain nangis?"

"Tapi papa gue lebih keras, beliau bela gue dan marahin mama yang nggak tanggung jawab karena pergi seharian tanpa pamit. Gue jadi merasa bersalah banget hidup di antara mama sama papa gue, gue nyesel kenapa gue harus ada di sini. Gue pikir waktu itu, gue ngerepotin banget sampe bikin papa sama mama berantem sampe teriak-teriak di depan kamar gue. Dari situ, muncul keinginan gue buat jadi pilot. Biar bisa pergi dari sini, pergi jauh, terbang kemana pun, asal nggak di sini, nggak bikin rusuh mama sama papa gue. Atau siapa pun."

"Apalagi setelah beberapa saat kemudian, gue sadar kalau ternyata mama emang nggak mau lagi ngurusin gue karena sibuk selingkuh sama orang lain. Gue juga sadar kalau diri gue nggak sesusah itu buat diatur. Gue rajin belajar, sering menang lomba akademis atau pun enggak, gue nggak nakal. Toh, banyak temen-temen gue yang lebih nakal, tapi mamanya tetep mau nganterin sampai depan kelas, tetep cium keningnya dulu sebelum masuk. Akhirnya, gue tahu ini bukan tentang kelakuan gue, tapi tentang perasaan mama. Mama emang udah nggak sayang atau mungkin nggak pernah sayang sama gue dari awal."

Jeff mengadahkan pandangannya, mencegah bulir air yang menghujung di kelopak mata. Pandangannya sudah buram, bibirnya bergetar dalam diam.

Hayzar bergeser mendekat, menempelkan bahunya pada bahu milik Jeff, kemudian membawa remaja itu dalam rangkulan hangatnya.

"Nggak papa, kok, kalau mau nangis," bisik Hayzar, tatapannya diarahkan pada wajah Jeff yang masih bersusah payah menahan ledakan tangis.

"Gue nggak salah, kan, Zar, kalau gue nggak pengen di sini?" tanya Jeff dengan suara tercekat. Bahunya sedikit bergetar, imbas dari isakan yang terus coba disingkirkan.

End(less) Rainbow (HeeJake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang