21) How

188 19 3
                                    

Mentari perlahan merangkak naik. Sorotkan binar terang sesuai tugas atas perannya di alam semesta. Ia bak memaksa empat manusia yang tengah bergelut dalam rasa sengsara segera bangun dan menyelesaikan segala hal yang jadi perkara.

Tidak mudah memang. Jelas terlihat bahwa keempatnya sama-sama tak mau bangkit. Bahkan untuk sekadar meregangkan tubuh seusai tidur pada posisi yang sama dalam waktu lama pun, seperti tak terbesit keinginan.

Jeffan hanya menatapi langit-langit kamarnya. Kamar 202 yang pernah hampir dikiranya bisa menjadi rumah baru, ternyata belum cukup kokoh bahkan pada pondasinya. Jeff menarik napas berat. Semua yang terjadi saat ini --diperhitungkan sebelum Hayzar datang--, sebenarnya sempat terbesit hinggap di benaknya, tetapi akhirnya hanya menguap terbawa berbagai suasana sarat asa.

Jeff tahu sejak awal ada sebuah hal yang perlu dipertegas, ada suatu niskala yang perlu diperjelas. Namun, naif-nya saat itu tetap berpihak pada keoptimisan di tengah labirin yang tak akan terselesaikan.

Hayzar jadi pihak pertama yang setelah berpuluh purnama --tentu saja ini sebuah hiperbola-- akhirnya bangkit, memperlihatkan selangkah upayanya meraih segala yang saat ini jadi asa.

Ia melangkah ke kamar mandi, menyegarkan tubuh dan juga pikirannya yang tak kunjung menemui pintas walau sudah dibawanya istirahat. Ia mengambil air dari bak mandi dan langsung menyiramkannya pada ubun-ubun. Satu hal yang sebenarnya berulang kali diperingatkan oleh sang bunda. Tidak boleh menyiramkan air dingin langsung ke kepala, harus dari kaki, baru perlahan naik ke atas. Hayzar tentu masih ingat seratus persen ucapannya, tetapi pagi ini ia pilih pura-pura lupa. Kepalanya saat ini seperti butuh dimasuki air es sepuluh liter supaya tidak mendidih memikirkan insiden yang terjadi beberapa minggu setelah kepindahannya.

Di sisi lain, Zay beranjak dari tidurnya. Ia melangkah ke dapur dan menyeduh sebungkus kopi instan. Ia kemudian melangkah keluar kamar dengan membawa cangkir dengan asap mengebul di tangannya.

Shaka melihat kepergiannya sayup-sayup karena matanya belum terbuka secara sempurna setelah bangun tidur.

Namun, tidak juga, ya, sepertinya? Mau Shaka bangun dan sadar secara utuh pun, Shaka tetap akan melihat kepergian Zayyan secara sayup-sayup karena mata hatinya tertutup sebagian oleh segenggam asa bahwa ia dan Zayyan akan kembali berada dalam relasi yang baik-baik saja dan selarik optimistik yang kontra dari kenyataan bahwa Zayyan terus melangkah semakin jauh dari cengkrama.

"Lo sarapan, kan? Gue ambilin di mincon, ya," sebuah suara mengambil alih tatapan Shaka dari bilah pintu kamar yang tertutup.

"Iya, Jeff. Makasih, Jeff."

Jeff mengangguk kemudian berjalan perlahan keluar kamar. Shaka sejujurnya bingung. Ia melihat Jeff agak lain pagi itu. Perhatian, sih, iya, tetapi Shaka merasakan yang lain.

Cara berjalannya tadi, sangat bukan seperti Jeffan biasanya. Jeffan itu remaja yang aktif, remaja yang ceria. Berjalan pelan dengan punggung yang sedikit membungkuk sama sekali bukan kebiasaannya. Selama setahun berteman, Shaka hanya pernah melihat Jeff berjalan tegas, berjalan cepat, juga berlari kecil, atau pun berlari dengan langkah besar kala dibutuhkan. Semua itu lengkap dengan bahunya yang selalu tegap dan dadanya yang agak dibusungkan. Tidak dalam arti sombong, tetapi melambangkan Jeff yang selalu siap menghadapi keadaan.

Anggukan kepalanya juga lain. Hanya satu kali dan tidak diikuti dengan senyuman. Untuk Shaka yang dapat dibilang sangat dekat dengan Jeff, ia sangat bisa merasakan Jeff berbeda pagi ini.

Ekor matanya menangkap Hayzar keluar dari kamar mandi lengkap dengan handuk terlilit pada kepalanya. Sepertinya Hayzar baru saja mandi keramas, begitu pikirnya.

End(less) Rainbow (HeeJake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang