"Lah?! Kalian kenal dari mana?" tanya Zay. Lihatlah, saking terkejutnya, ia bahkan berhenti menggigit sayap ayam goreng di genggamannya.
Jeff tersenyum simpul. Ia mendekati kumpulan teman-teman kamarnya tersebut, lalu menarik tangan Zay untuk menyuapkan sayap ayam miliknya ke mulut Jeff.
Hayzar masih menatap Jeff bingung. Apa iya ini kamar Jeff juga? Seingatnya, tadi ia sudah menyebutkan kamarnya kala mengobrol sebentar dengan Jeff, tetapi Jeff sama sekali tidak menyinggung barang sedikit mengenai ia berada di kamar yang sama atau apa pun itu.
Jeff tertawa pelan menatap Hayzar yang air mukanya begitu menyaratkan kebingungan.
"Tadi gue tabrakan sama dia di kantin, sempet ngobrol sebentar juga," Jeff menjawab pertanyaan Zay, lalu beralih menatap Hayzar, "Iya, gue di kamar ini juga. Salam kenal, Hayzar!" jawaban tanpa pertanyaan plus senyuman sumringah disuguhkannya pada pria bermata rusa tersebut.
Baik Hayzar atau pun Zay sama-sama membulatkan mulutnya lalu mengangguk, mengisyaratkan paham dengan jawaban yang diberikan Jeff dalam satu tarikan napas atas pertanyaan mereka berdua.
Hanya Shaka yang menatap Jeff kosong. Entahlah, Jeff juga tidak dapat mengatakan apa arti tatapan tersebut. Satu yang Jeff tahu pasti, sahabatnya ini pasti masih sedih karena urusan percintaannya.
"Gimana? Lo udah baikan, Shak?" Jeff mengambil tempat pada tumpuan lengan sofa sebelah Shaka. Tangannya menepuk pundak Shaka pelan, memberikan dukungan moril untuk sahabatnya.
"Baikan gimana, udah gue pesenin chicken wings kesukaan dia aja tetep nggak disentuh sama sekali. Suapin deh, coba, Jeff. Bingung gue asli," gerutu Zay. Pilihan yang cukup bodoh, kenapa Zay harus menggerutu tepat di hadapan orangnya, sih.
Jeff mencondongkan tubuhnya mendekati Zay, lalu melayangkan satu dorongan keras pada kepala Zay.
"Aduh, anjir!"
"Mulut lo sabar dulu kenapa, sih. Marah-marah mulu," ucap Jeff.
Hayzar yang duduk di sofa yang berhadapan menahan senyumnya. Ada sedikit rasa lega terselip pada hatinya. Nyatanya, seniornya tidak segalak itu, --sangat tidak galak bahkan-- di matanya justru interaksi mereka begitu lucu dan bergenre komedi.
"Lo mau makan apa? Nasi goreng mau?" tanya Jeff pada Shaka.
Shaka menggeleng. Aduh, pusing sekali, remaja ini benar-benar seperti manusia tanpa arah dan harapan hidup. Kedua sahabatnya dan seorang akademian baru itu sungguh dibuat bingung olehnya.
Zay mengernyitkan dahinya samar. Seperti teringat sesuatu. Ia lalu beringsut menuju rak penyimpanan makanan yang ada di kamar tersebut.
"Bubur bayi aja gimana? Kata bunda lo dulu, lo suka makan bubur bayi, kan, kalo sakit?" Zay menunjukkan kemasan bubur bayi rasa beras merah pada Shaka.
Binar mata Shaka sedikit berubah setelah melihat kemasan bubur bayi di tangan Zay. Ia teringat akan bundanya yang selalu membuatkannya bubur bayi ketika ia sakit atau sedang tak mau makan.
"Mau mam," Shaka mengangguk cepat, bilah bibirnya samar melengkung ke atas, menunjukkan ada kemajuan.
Jeff tersenyum kecil, mengusak rambut Shaka, "Mam mam, kayak anak kecil lo."
"Zay, tolong bikinin buburnya buat bayi besar ini. Gue mau mandi dulu, gerah banget," ucap Jeff sembari berjalan mengambil handuk.
"Iye, mandi dah," balas Zay. Ia sedang berkonsentrasi membuatkan Shaka bubur bayi. Lumayan membingungkan juga, sih, baginya. Walaupun sudah ada petunjuk yang bahkan lebih mudah dipahami daripada buku panduan penerapan autopilot pada pesawat, tetapi tetap saja, Zay masihlah seorang remaja yang tidak pernah sekalipun mengurusi bayi. Ia benar-benar tidak tahu menahu seberapa panas air yang dibutuhkan untuk membuat bubur ini. Apakah harus air mendidih, atau boleh air hangat suam-suam kuku. Ah, Zay pusing.
Ah, masa bodoh, toh Shaka juga bukan anak kecil lagi, ia bisa meniup buburnya sendiri, kan, jika suhunya terlalu panas?
"Lo kalo mau beres-beres barang lo dulu, nggak papa, kok, Zar. Biar ini bayi gue yang urus," ucap Zay sembari membawa mangkuk bergambar pinguin.
"Okay, Zay, Shak. Gue beres-beres dulu, ya. Kalau ada yang butuh bantuan panggil aja, ya," balas Hayzar.
Zay lalu meletakkan mangkuk tersebut di hadapan Shaka. Tidak ada balasan, bahkan sedikit pun ucapan terima kasih. Bukan Zay gila hormat, tetapi setidaknya? Untuk sedikit kerja kerasnya itu, apakah tidak ada apresiasi sama sekali?
Shaka hanya memandangnya, dengan ekspresi yang --entah-- menurut Zay mirip seperti anak anjing, begitu menggemaskan.
Ah, Zay. Kau sudah gila.
"Biasanya bunda juga suapin gue," lirih Shaka.
Zay mengernyitkan keningnya, "Ya, terus?"
Shaka sedikit memajukan tubuhnya ke arah Zay, lalu membuka mulutnya lebar-lebar, "Aaaakkk?"
Zay tertegun, manik hitamnya membesar seiring dengan kelopak matanya yang membelalak. Sedikit terkejut dengan serangan tiba-tiba dari Shaka.
Zay menggelengkan kepalanya pelan. Shaka dengan mode bayi manja sungguh membuatnya pening tak karu-karuan, dan jangan lupakan ekspresi menggemaskan yang menghiasi paras manisnya. Astaga, mana Zay sadar kalau sahabatnya ini berparas setengah malaikat.
Lupakan. Mengapa, sih, Shaka yang patah hati, tetapi Zay yang jadi ribut sendiri?
"Makan sendiri, Shaka. Lo udah gede," balas Zay.
Tidak mempan sepertinya. Remaja berkulit putih di hadapannya justru mempoutkan bibirnya juga membuang pandangannya ke sembarang arah. Membuat Zay sungguh ingin memangsanya hidup-hidup.
"Okay, fine-fine. Gue suapin lo dengan syarat buburnya harus habis semangkok, ya? Nggak boleh dibuang. Lo belum makan dari siang. Kasihan perut lo," putus Zay pada akhirnya.
Shaka menyunggingkan senyum manisnya lalu mengangguk antusias.
"Aaaakkk...," Zay benar sudah seperti seorang ibu yang membimbing balitanya untuk membuka mulutnya lebar-lebar saat disuapi.
"Aah!"
"Eh, kenapa?!"
"Anah-anah," balas Shaka. Mulutnya terasa begitu panas dan penuh uap karena suhu bubur ini terlalu tinggi.
Zay segera mengulurkan air putih pada Shaka, memegang gelasnya dan membantu Shaka meminumnya untuk meredakan rasa panas di rongga mulutnya.
"Astaga terlalu panas, ya, berarti?" pertanyaan retoris dilontarkan Zay.
"Oke, oke. Gue tiup dulu, ya," izin Zay. Zay mengambil sesendok bubur bayi, lalu meniupnya perlahan. Setelah rampung, Zay mencecap sedikit bubur tersebut pada ujung sendok, untuk memastikan bahwa suhu bubur ini sudah pas masuk ke dalam rongga mulut Shaka.
"Aaakk lagi, udah nggak panas," ucap Zay. Ia mengarahkan sendok bubur yang sudah ditiup dan sedikit dicecapnya kepada Shaka.
Yang baiknya langsung diterima oleh mulut Shaka dan diakhiri dengan senyuman riang.
Bibir Zay ikut tertarik ke atas, secara tak sadar membentuk ikatan baru dengan perasaan Shaka.
Tidak ada masalah apa pun untuk Zayyan. Selama Shaka bahagia, Zay juga pasti berdiri pada perasaan yang sama.
🐾🐾🐾
chapter ini aku bikin full jayhoon fluff yaah karena kemarin kita baru aja buka puasa ada konten tiktok jayhoon shshs😭💖
siapa gemes angkat tangaann!
semoga konten + moment jehun makin banyak tahun ini yaa
enjoyy🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
End(less) Rainbow (HeeJake)
FanfictionHanya perihal Hayzar, si remaja hitam putih yang bertemu Jeff, seseorang yang memberi corak warna pada gurat monokromnya, lewat sebuah nampan makan siang.