23) Untold

200 17 4
                                    

Matahari mulai menyusuri jalan pulang. Mencipta elok guratan jingga pada birunya jumantara. Dunia terasa begitu cerah dan indah.

Namun, mungkin tidak buat beberapa kepala yang masih dipenuhi oleh kabut  risak. Bagi mereka, segala hal terasa tak begitu jauh dari kata rusak.

Shaka terbangun dari lelapnya. Ia tertidur masih dalam posisi telungkup. Ia menggerakkan bagian-bagian wajahnya yang kaku akibat ditenggelamkan dalam bantal entah berapa lama.

Tok tok tok!

"Den? Den Shaka? Udah bangun?"

Shaka berjengit. Ia beralih menatap jam dinding di kamarnya. Pukul lima sore dan ia belum makan apa pun dari siang. Mbak Nis sudah jelas akan menceramahinya sepanjang 4 SKS lagi tentang urgensi membiasakan makan tepat waktu.

"Ya, Mbak, masuk aja," balas Shaka.

Mbak Nis masuk dan menaruh nampan di meja samping ranjang Shaka. Entah apa isinya, Shaka belum ingin mengetahuinya. Ia cuma ingin terus tidur agar tak perlu merasakan apa-apa.

Seusai nampan tersebut mendarat aman di meja ranjang, mbak Nis menatap Shaka yang masih diam dalam posisi awal. Ia kemudian mendekati Shaka dan duduk di pinggir ranjang, di dekat kepala Shaka yang telungkup melintang pada ranjangnya.

"Capek, ya, Den?" mbak Nis merapikan anak rambut Shaka, menyisirnya perlahan dengan jemarinya. Melihat rambut yang bisa dibilang lepek itu, mbak Nis tahu Shaka pasti sedang mengalami sesuatu hingga tak merawat dirinya seperti biasa.

Shaka memiringkan kepalanya, berlawanan dengan tempat di mana mbak Nis duduk. Mbak Nis sudah hapal bahwa secara tak langsung, Shaka memintanya mengelus pucuk kepalanya. Shaka memang sering meminta itu kalau ia sedang bersedih.

Mbak Nis mengelus pucuk kepala Shaka. Perlahan dan halus. Masih sama persis seperti dulu, bedanya hanya tangan mbak Nis yang lebih kasar karena sekarang lebih sering bersinggungan dengan cucian kotor dan perabotan logam serta alat masak di dapur.

"Lagi ada masalah, ya, Den? Mau cerita ke Mbak?" tanya mbak Nis pelan. Shaka tersenyum kecut. Memang sampai kapan pun, sepertinya mbak Nis adalah orang yang paling mengerti Shaka.

"Shaka bingung, Mbak, pusing," keluh Shaka, ia agak bimbang memilih kata-kata seperti apa yang harus disuguhkan kepada mbak Nis.

Ada cowok yang suka sama Shaka?
Ada temen cowok yang suka sama Shaka?
Sahabat Shaka ternyata suka sama Shaka?
Temen Shaka suka sama Shaka?

Kalimat yang terakhir nampaknya paling aman di antara kalimat-kalimat lain yang sempat terlintas di benaknya.

Mbak Nis menunggu dengan sabar. Ia tak melontarkan pertanyaan apa-apa lagi sebagai balasan. Baginya, lebih baik Shaka yang melepaskan semuanya sesuai waktu dan keinginannya sampai dimana. Mbak Nis hanya ingin jadi pendengar, bukan pemaksa.

"Ada temen yang bilang suka sama Shaka, Mbak," Shaka terdiam kemudian. Agak bingung harus melanjutkan apa sedangkan titik permasalahannya saja belum jelas ia beberkan. Teman lelaki. Itu adalah poin masalah yang untuk saat ini kata-katanya masih tersangkut di tenggorokan.

"Temen laki-laki?" tanya mbak Nis pelan.

Shaka berjengit. Kepalanya bergerak menatap mbak Nis. Mana mungkin mbak Nis bisa tahu kalau yang menyukainya adalah sahabat laki-lakinya?

"Kalau yang suka sama Den Shaka itu temen cewek, nggak mungkin Den sampai lari dari asrama, pulang ke rumah, diem di kamar," ujar mbak Nis, "Kalau yang suka sama Den itu temen cewek, Den pasti nggak akan galau kayak gini, nggak akan bingung karena Den tinggal ambil keputusan sendiri mau nerima atau nolak."

End(less) Rainbow (HeeJake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang