☆ ㅤ ❏ ㅤ ⎙ ⌲
ᵛᵒᵗᵉ ᶜᵒᵐᵐᵉⁿᵗ ˢᵃᵛᵉ ˢʰᵃʳᵉ
◄••HAPPY READING ••►
______________________________________
Alan meringis saat kapas dan cairan dingin itu menyentuh memar-memar di beberapa titik wajahnya, Queena membantu mengobati luka memar itu dengan hati-hati."Lo kan laki-laki Kak, kenapa gak lawan mereka?" tanya Queena menatapnya heran.
"Udah biasa," jawab Alan seadanya.
"Jadi lo sering di pukulin mereka?" Alan tampak mengangguk mengiyakan.
"Sebenarnya siapa mereka?" Queena kembali bertanya.
"Mereka temen SD," jawabnya ia segera memakai kacamata yang sudah retak dan tidak berfungsi lagi.
"Itu gak bisa di pake lagi," ucap Queena membuat Alan kembali menurunkan kacamata nya.
"Gue gak bisa liat jauh," kata Alan sedikit khawatir.
"Kalau liat dari deket bisa?" tanya Queena membuat Alan mengangguk.
"Kalau gitu lo bisa liat gue dengan jelas?" tanya Queena lagi, gadis itu menumpu dagunya di kedua telapak tangan dan tersenyum manis membuat Alan gugup menatapnya.
"I-iya," ucap Alan dan menundukkan kepalanya. Queena mengangguk-angguk dan memasukan kembali obat-obatan itu kedalam kantong plastik dan ia masukan ke dalam tas Alan.
"Buat jaga-jaga kalau lo terluka lagi," kata Queena. Keduanya menatap matahari terbenam yang indah, dengan riak air sungai yang luas.
Setelah beberapa menit, keduanya berjalan di trotoar. Lampu jalanan telah menyala meski banyak yang redup, langit pun telah menampakkan kegelapan yang bertabur kelap-kelip bintang.
Queena berjalan di pembatas jalan yang tingginya 30 cm sambil melentangkan kedua tangannya menjaga keseimbangan. Alan di sampingnya ikut berjalan pelan, dan berjaga jika gadis itu hilang keseimbangan dan jatuh.
"Apa yang paling Kak Alan takutin?" tanya Queena tanpa menoleh padanya.
"Entahlah," jawab Alan singkat.
"Kalau gue sih, gak takut apa-apa. Gue cewek berani," sahut Queena dengan bangga.
"Kalau gitu, apa yang buat kak Alan benci?" tanya Queena lagi, sepertinya gadis itu mulai nyaman mengobrol dengan laki-laki kaku dan datar itu.
Alan menengadah ke langit, "Diri sendiri," ucap nya membuat Queena menoleh heran.
"Gue benci diri sendiri, gak bisa ungkapin perasaan. Akhirnya sakit sendirian," lanjut Alan membuat Queena terdiam.
"Ngawur ya." Alan membuang wajah karena malu. Queena terkekeh geli melihatnya, "Gakpapa, kak Alan bisa jawab pertanyaan dengan jujur. Itu bagus,"
Alan tersenyum tipis mendengarnya, baru kali ini ia merasa hangat berbicara dengan orang lain, dan syukurlah orang itu Queena.
∴∵∴
Pukul 14 : 30
Yoline berjalan memasuki gang sempit menuju rumah tutor baru nya, yang belum sempat ia berkenalan dengannya. Entah siapa namanya, ia belum mengetahui hal itu.
Langkahnya yang anggun dan tenang menyusuri jalan kecil itu, kedua sorot matanya tajam memancarkan semangat penuh. Ia melihat rumah minimalis di hadapannya, semua cat nya serba putih. Hanya beberapa sudut yang terdapat warna cat cokelat terang.
Rumah ini terlihat rapi dan terawat, mungkin laki-laki itu terbilang orang yang cukup rajin. Ia memeriksa ponselnya dan menghubungi laki-laki pemilik rumah itu.
"Gue di depan rumah lo," ucap Yoline. Tidak ada sahutan dari sebrang telepon. Pintu utama terbuka menampakkan sosok laki-laki tegas itu, ia masih saja menggunakan topi yang menutupi setengah wajahnya. Ia berjalan menuju pagar tinggi itu dan membukanya membiarkan Yoline masuk.
Keduanya memasuki rumah itu dan menutup pintu, semua benda-benda di dalam ruangan tampak rapi. Yoline mengikuti langkah laki-laki itu menuju sebuah ruangan, dimana terdapat dua lemari buku yang tinggi dan setiap raknya di penuhi buku-buku yang tersusun rapi.
Sofa diatas karpet putih tampak nyaman, terdapat etalase pajangan dan beberapa figura foto-foto semasa sekolah. Dan yang terbaru bersama angkatannya di universitas.
Laki-laki itu duduk di sofa membuat Yoline mengikutinya, ia tidak berniat membuka topi dan menatap Yoline. Laki-laki itu hanya menatap ke meja tanpa melihat padanya. Ia mengambil beberapa buku di bawah meja dan di letakan di atas meja.
"Emm...gue boleh minta minum? Lo tau kan jalan dari gang di depan itu cukup jauh. Gue kehausan," ucap Yoline dengan cengengesan.
Tanpa bicara, laki-laki itu berdiri dan meninggalkan ruangan. Yoline menatap kepergian nya, dan segera bangkit mendekati figura-figura foto di atas etalase kaca. Benar saja, di foto angkatan universitas nya ada Yuna. Tepat di samping nya tersenyum ke kamera bersama yang lain.
Ia segera mengeluarkan ponselnya dan memotret figura itu, ia membuka laci kayu di bawah dan melihat-lihat. Tidak ada yang istimewa disana.
Kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Yoline kembali berdiri tegak dengan memandangi figura itu. Ia menerima gelas kaca itu dan menyeruput air lemon yang menyegarkan.
"Makasih," ucap Yoline tersenyum manis, ia menunjuk Yuna yang ada di dalam foto itu.
"Siapa dia? Pacar lo? Cantik ya," lanjutnya seolah tertarik untuk berbasa-basi.
"Kita mulai aja pelajaran nya," kata laki-laki itu berjalan menuju sofa. Yoline mengikuti dan duduk di sampingnya.
"Lo bisa duduk disana,"
"Enggak. Pelajaran ini harus masuk di otak gue, dan...harus jelas." kata Yoline dengan manis. "Oh ya, nama lo siapa? Kita kan belum kenalan."
"Angga," ucap laki-laki itu menoleh padanya. Bisa Yoline lihat wajah nya kini yang tampan dan tatapan yang tajam.
Angga mulai menjelaskan pelajaran pada Yoline. Ia terlihat jago menghafal dan mengucapkan kalimat-kalimat yang mudah dipahami. Tetapi, Yoline tidak peduli dengan pelajaran itu ia melihat sekeliling memandai dengan kedua matanya menebak kepribadian Angga. Laki-laki itu sungguh tidak bisa ia tebak, ia ingin tahu lebih dalam tentang nya.
∴∵∴
Ziga duduk dengan tatapan kosong di sudut ruangan 3 x 5 m. Terlihat wajahnya kusut, rambut berantakan, ada lebam di beberapa titik wajahnya, ia memakai baju tahanan berwarna coklat untuk tahanan dengan tingkat keamanan sedang dengan nomor 671 .
Kehidupan nya berubah drastis setelah memasuki lapas. Masuk sel tahanan, langsung mendapat tamparan perkenalan dari semua rekan satu ruang. 5 orang, 5 tamparan. Ada yang malu malu, ada yang bergairah sekali menampar. Tradisi katanya. Biar cepat akrab.
Terasa panas di wajah, sakit di telinga. Setelah itu diajak olahraga bersama di lapangan yang terik, ia yang melakukan mereka yang menilai. Di perintahkan push up 50 kali, squat jump 100 kali. Rekan sesama tahanan yang menghitung bersama dengan kompak.
Para penjaga melihat sambil merokok dari kejauhan. Ketika sudah berakhir, rekan satu ruangan tetap kompak menghitung seraya memberi kode pada Ziga untuk berhenti push up.
Selanjutnya di perintahkan menyanyikan lagu Indonesia Raya, jika tidak bisa akan disiksa, karena Ziga masih anak sekolah ia hafal dan lancar. Sehingga dirinya tidak mendapatkan banyak pukulan lagi.
Kegiatan lainnya, senam bersama, mandi sehari sekali, diberi makan tiga kali sehari, Ziga masih belum terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Tetapi, ia tidak banyak membangkang meski merepotkan ia tetap mematuhi aturan.
∷∷∷
KAMU SEDANG MEMBACA
BASED CHANGE
Teen FictionZazizu, sebutan dan singkatan dari ketiga remaja laki-laki yang terkenal di sekolah. Laki-laki pertama yang di gemari banyak perempuan karena tampan dan ramah. Selain itu ia berasal dari keluarga yang serba ada, ia juga sudah memiliki penghasilan s...