Part 34

295 4 0
                                    

Esther berjalan dengan langkah kaki yang cukup lebar. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Devian. Esther menyusuri setiap lorong yang dihiasi dengan lukisan-lukisan karya Affandi Koesoema. Seorang pelukis asal Indonesia yang sudah mendunia.

Beberapa karyawan menyapa Esther dengan sangat sopan. Namun sebagian wanita tentu saja ada yang tidak menerima bahwa Esther kini sudah menjadi nyonya besar dengan cara yang bagi mereka itu sangatlah mudah.

Padahal tidak, Esther harus menerima kenyataan bahwa suaminya lah yang sudah menabrak ayahnya hingga meninggal. Siapa yang bisa menerima dengan lapang dada saat kita tahu bahwa dia yang membuat hidup kita sengsara selama bertahun-tahun? Tanpa keadilan, tanpa ucapan maaf. Tapi Esther sepertinya sudah mengesampingkan itu semua. Ia cukup menerima segalanya, berdamai dengan masa lalunya dan itu adalah salah satu kunci kebahagiaan.

Untuk apa kita terus dibayangi oleh masa lalu yang kelam? Jalan di depan sana masih jauh, janganlah terus melihat ke belakang karena kau tidak akan mendapatkan apa-apa selain hanya sebuah kenangan. Esther ingin memulai segalanya dari awal, membina rumah tangga yang lebih baik, merawat kandungannya agar calon buah hatinya tetap tumbuh sehat di dalam sana dan membantu Devian menghadapi traumanya.

"Sayang.." Esther mengetuk pintu berwarna hitam pekat yang ada di hadapannya.

"Masuk.."

Esther tersenyum, ia membuka pintunya setelah mendengar suara seksi dari suaminya.

"Hey.. kemarilah sayang." Devian meletakkan berkas-berkas yang sedari tadi di pegangnya.

"Apa aku mengganggumu?" Esther berjalan mendekat kemudian tubuhnya segera di raih oleh Devian.

Esther duduk di pangkuan Devian lalu melingkarkan lengannya di leher Devian.

"Sama sekali tidak sayang." Devian menciumi pipi Esther. "Bagaimana si kecil?" Devian meraba perut Esther yang kini sudah mulai terlihat sedikit membesar.

"Aman.." Esther mengangkat jari jempolnya sambil mengedipkan matanya. "Kau sedang apa?" Esther membalikkan tubuhnya namun masih duduk di pangkuan Devian. Esther melihat beberapa lembar kertas yang ada di meja kerja Devian.

"Aku sedang mengecek hasil kerja teman dari Davin. Dan kau tahu? Semenjak dia di sini keuangan perusahaan kita naik dua kali lipat setelah di kelola oleh orang suruhan Davin." Devian memeluk Esther sambil menciumi tengkuk Esther dan menghirup aromanya dalam-dalam.

"Kau serius?"

"Ya, aku ingin memperkerjakannya di perusahaan kita, tetapi dia menolak." Devian terus menciumi leher Esther.

"Kenapa?" Tanya Esther dengan nada sedikit serak.

"Entahlah. Aku tidak ingin terlihat memohon padanya. Aku bisa melakukan sendiri tanpa harus mengemis kepadanya. Tapi aku bisa meminta Davin agar membujuknya." Devian meremas dengan pelan kedua gunung kembar milik Esther. Memainkannya dengan sangat lihai.

"ssh aahh.." Esther mendesah, ia menyelipkan jari-jarinya di rambut Devian, dan sedikit meremasnya. Esther memejamkan mata menikmati setiap sentuhan di setiap jengkal tubuhnya.

Devian menciumi leher Esther dengan hasrat yang membara. Ia ingin segera memasuki benda miliknya ke dalam benda milik Esther. Namun Devian segera menghentikan aksinya karena ini bukan waktu yang pas.

"Kita lanjutkan nanti ya sayang." Devian mengecup bibir Esther dengan singkat. Esther sedikit kesal dengan ucapan Devian. "Aku janji." Lanjut Devian.

Terlukis sebuah senyum bahagia dari wajah Esther. Esther mengangguk kemudian membalas ciuman Devian.

DEVIAN & ESTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang